Kamis, 03 Agustus 2017

Meliku Nusa (1), Cerita Perjalanan KKN Miangas 96



Meliku Nusa, 14 Juli 2017


Hari ini dimulai dengan bangun tidur mendapati Meliku Nusa masih setia bersandar di pinggir dermaga, belum beranjak sedikitpun. Sudah dua pagi kami lewati di atas kapal ini, tanpa pergerakan. Langit masih gelap, tapi waktu subuh sudah dekat. Aku ikut beberapa teman yang mau sholat subuh di Masjid (lagi-lagi saya lupa namanya, dan tidak ada dokumentasinya ckck), di luar pelabuhan. Selesai sholat kami harus langsung  kembali ke kapal Meliku Nusa karena ada yang bilang kalau kapal akan berangkat pagi ini.

Sampai di kapal, Aku dan salah satu temanku, Dian, tidak langsung naik ke atas kapal. Kami duduk di atas tempat diikatkannya tali yang menjaga kapal agar tetap di tempatnya atau biasa disebut. Tak lama, datang teman yang lain ikut bergabung menambah seru obrolan tentang perjalanan. Dari sana kami melihat perlahan-lahan langit yang berwarna biru tua berubah menjadi berwarna perpaduan merah, kuning, dan jingga yang lembut. Tak seperti kemarin, pertunjukan fajar hari ini lebih indah. Aku merasa, sayang sekali kalau momen ini tidak diabadikan. Demi bisa menangkap indahnya langit dengan landscape pelabuhan dari atas kapal, aku pamit undur diri untuk naik duluan ke atas kapal, tapi ternyata mereka pun sudah ingin naik. Aku pun langsung menuju dek dua kapal ini dan berdiri menghadap ke timur memotret fajar hari ini dengan kamera telepon genggam.

Setelah fajar pergi membawa rona indahnya, aku diajak Dian naik ke dek tiga menikmati angin dan sinar matahari pagi. Di sana aku bertemu Akira, teman dari jurusan antropologi, dan kami mengobrol sebentar. Seingatku Ani datang disusul Al, setelah itu Akira hilang. Dia selalu begitu. Datang dan pergi secara tiba-tiba dan biasanya tanpa disadari sekitarnya.  Lain kali, akan kuceritakan tentang temanku yang satu ini.

Setelah itu kami turun ke ruang duduk di dek dua, bergabung bersama teman-teman yang mempertanyakan kepastian keberangkatan kapal ini. Semakin lama ditunda, semakin banyak kerugian yang harus kami tanggung. Rugi waktu, tenaga dan biaya. Menurut informasi yang kudapatkan dari sesama penumpang yang akan pergi ke Miangas, kapal ini sedang menunggu surat izin berlayar dari Pelni pusat di Jakarta. Tanpa itu kami tidak bisa jalan. Bisa kumaklumi kalau pertimbangan pemberian izin berlayar adalah kondisi ombak dan cuaca, tetapi menurut penuturan salah satu ABK bukan itu, melainkan surat-surat dan sertifikat ABK.

Karena jadwal yang tidak pasti ini kami tidak bisa pergi-pergi dengan tenang karena sewaktu-waktu kapal bisa jalan. Padahal kami sudah sampai di sini sejak hari Kamis sore dan sekarang sudah hari Sabtu. Seandainya sejak awal jadwalnya jelas, kami bisa jalan-jalan dulu menikmati Kota Bitung dan sekitarnya.  Ada empat tempat wisata unggulan di sekitar pelabuhan Bitung, yaitu dua di antaranya pantai dan yang lainnya monumen trikora dan ekowisata mangrove yang terletak di Pulau Lembeh yang berjarak tempuh sekitar 5 menit dari pelabuhan dengan kapal kecil, orang Sulawesi Selatan menyebutnya jolloro’. Di google map, aku pun lihat ada tag diving resort di pulau ini. Beberapa dari kami, rombongan KKN Tematik Miangas dari Unhas, hanya sempat berkunjung ke monumen Tri Komando Rakyat kemarin sebelum waktu sholat Jum’at. Karena katanya kapal akan berangkat sesudah sholat Jum’at. Tapi ternyata ditunda menjadi jam 6 sore dan nyatanya sampai hari ini pun belum berangkat.

Sekali lagi karena jadwal yang tidak pasti, sebagian dari kami memutuskan untuk pergi mandi dan mencuci pakaian di WC umum dalam pasar, dekat pelabuhan. Sebagian yang lain sarapan bubur ayam di depan masjid. Ada juga yang menitip dibelikan. Jarak lokasi sandar kapal kami dengan pintu masuk pelabuhan sekitar 1 km. Akan terasa jauh saat matahari tinggi, apalagi lingkungan di sekitar pelabuhan tidak ada pohon dan hampir selalu berdebu oleh mobil cargo yang berlalu lalang.

Seusai mandi dan mencuci pakaian, aku, Ani, Sultan, Ikbal dan Ghaffar rencananya akan sarapan bubur ayam, tapi ternyata habis diborong teman-teman. Akhirnya kami makan nasi kuning, lontong sayur dan nasi pecel di gerobak yang tidak jauh dari gerobak bubur ayam. Selesai makan kami kembali ke kapal dan menjemur pakaian kami di dek tiga. Sebenarnya dek tiga bukan ruang untuk penumpang, karena dek tiga adalah tempat khusus ABK di mana ada ruang navigasi nahkoda, kamar dan ruang makan mereka. Tetapi, kami diizinkan untuk naik ke atas menggantung hammock dan menjemur pakaian (hehehe sepertinya kalau yang ini hanya inisiatif kami). Ada juga jemuran di lantai paling atas (atapnya dek 3).

Karena dek dua, tiga dan atap sudah disebut, aku tambahkan dek satu ya. Dek satu juga tempat untuk penumpang, bedanya dengan dek dua yang hanya menyediakan tempat duduk plastik yang tersusun permanen, kalau dek satu hanya menyediakan ranjang tingkat dua yang tidak berkasur. Penumpang bisa tidur di sini dengan menggelar alas tidur seperti karpet dan semacamnya. Di dek satu juga terdapat dapur umum.

Sayangnya walaupun lama di kapal ini, aku belum sempat observasi jadi belum banyak yang bisa kuceritakan.
Bersambung...

Rabu, 02 Agustus 2017

Dorolonda (2), Cerita Perjalanan KKN Miangas 96

Masih di Dorolonda…
Baubau – Namlea

Aku terbangun jam 00.47 karena merasa lapar dan sakit perut. Mataku yang masih mengantuk menelusuri seisi ruangan, banyak yang sedang terlelap. Tapi ada sekelompok teman yang sedang (aku tidak yakin) mengobrol dan makan mie. Tepat saat mereka bertemu pandang denganku, aku dipanggil untuk bergabung, tapi aku merasa malu untuk ikutan. Akhirnya aku hanya pergi ke kamar mandi. Saat itu aku melihat suasana yang berbeda di dek ini. Lantai dek menjadi penuh dengan barang-barang dan orang yang sedang tidur. Rupanya waktu singgah di Baubau, penumpang yang turun jauh lebih sedikit daripada yang naik. Nampaklah wajah-wajah lelah yang sudah tidak peduli di mana pun tempatnya yang penting dirinya bisa beristirahat. Bahkan (maaf) di dekat tempat sampah di depan pintu kamar mandi. Tidak lama setelah kembali dari kamar mandi, aku tertidur lagi.

Sebelum azan subuh, aku terbangun. Ini subuh pertama kami di kapal ini. Sebagian dari kami sholat subuh di mushola yang ada di dek 7. Setelah itu kami sarapan, mandi, dan melakukan aktivitas di atas kapal seperti sebelumnya (main game warewolf, uno, joker, menonton tv, jalan-jalan menjelajah kapal, mengobrol sambil ngemil, dll). Kami berada dalam perjalanan Bau-bau ke Namlea. Semakin lama ombak semakin kencang. Ini bisa dirasakan dari getaran dan ayunan badan kapal, juga jelas terlihat dari deburan ombak yang menghempas kaca jendela–jendela berbentuk bulat yang ada di dua sisi dinding dek ini.

Satu per satu teman-teman mulai menunjukkan kondisi yang kurang baik. Ada yang mual, pusing, sampai tidak mampu beranjak dari tempat tidurnya. Mulailah masuk obat-obatan penangkalnya. Praktis aktivitas kami tidak seberagam sebelumnya. Sebagian besar teman-teman yang mabuk laut ini hanya tinggal di tempat tidur. Termasuk aku, padahal aku sedang berusaha menyelesaikan rajutan yang sengaja kubawa untuk mengisi waktu senggang. Seharusnya aku bisa membuat satu tas rajut kecil selama perjalanan ke Miangas. Nantinya tas ini akan kugunakan di sana. Tapi sayangnya aku merasa pusing dan ingin tidur saja.

Bangun tidur, aku merasa lebih baik. Tidak lagi pusing dan bisa melanjutkan rajutanku. Teman-teman pun sepertinya mulai membaik. Karena ombak sudah mulai tenang, teman-teman bisa mandi dan makan dengan baik. Keseruan permaian warewolf dan yang lainnya kembali hidup dan mewarnai suasana dalam dek ini. Aku pun memilih ikut larut bermain bersama mereka dibanding merajut lagi. Mulai dari uno, joker, warewolf (dalam kelompok kecil), sampai permainan semacam monopoli yang ada di hp, aku mainkan bersama teman-teman.

Namlea – Ambon – Ternate – Bitung
          
Kami tiba di Namlea tengah malam, sebagian teman-teman naik ke dek 7 dan kafe untuk menikmati udara segar, mengambil gambar dan mengaktifkan jaringan seluler. Maklum, selama di tengah lautan tidak ada jaringan, kalaupun ada hanya bisa untuk menelpon dan sms, tidak internetan. Jadi saat-saat singgah di pelabuhan transit adalah saat-saat yang dinantikan. Bagi kami, generasi millennial (kata temanku), terhubung dengan internet merupakan suatu kebutuhan. Pada saat-saat seperti ini kita dapat menemukan fenomena yang dalam pelajaran sosiologi di SMP disebut crowded, suatu kelompok yang kumpul di satu tempat karena punya kepentingan yang sama tapi tidak saling berinteraksi. Kami sibuk dengan aktifitas telponan atau sms-an, chatting, video call, update sosmed, dll dengan gadget masing-masing. Ada juga yang keranjingan online game. Untungnya fenomena ini tidak berlangsung lama. Setelah mengabari keluarga dan yang perlu dikabari, kami kembali berkumpul dengan kesadaran bahwa kami adalah keluarga yang disatukan dalam KKN.
              
Sebagian teman telah kembali ke dek dua untuk beristirahat. Aku dan temanku masih tinggal dan mengobrol dengan teman-teman dan beberapa penumpang. Kebetulan aku sedang membaca tulisan tentang warga Maluku yang suka bermusik, ramah dan spontan. Aku juga sedang mengantri baca novel Kei. Tiba saatnya menjadi saksi langsung atas apa yang sedang dan akan kubaca, walaupun hanya dengan observasi singkat kepada penumpang kapal. Kami sedang singgah di Pulau Buru, tepatnya di pelabuhannya yang bernama Namlea. Pulau terbesar ketiga dalam Kepulauan Maluku ini adalah salah satu tempat pengasingan bagi para tahanan di zaman Presiden Soeharto. Konon katanya pulau ini merupakan pulau para buruh/pekerja. Pulau Buru pernah menjadi inspirasi bagi penulis besar, Pramoedia Ananta Toer. Di kafe yang full music ini aku melihat dua orang penumpang bermain kartu dengan taruhan siapa yang kalah harus mengalungkan botol air mineral (masih ada isinya) yang diikat dengan tali sepatu di telinganya. Tak pernah serius, mereka selalu membuat lelucon yang mengundang tawa. Dan lucunya mereka sama-sama bermain curang tanpa sepengetahuan lawannya. Tak ada minuman alkohol, hanya dua botol aqua. Mereka tidak mabuk, meskipun tindakannya seperti orang kurang sehat akalnya *hahaha*.

               Setelah mereka bubar, aku dan beberapa temanku kembali ke dek dua untuk tidur. Keesokan paginya, setelah rutinitas pagiku kelar, aku teringat pada nasib rajutanku. Setelah kucari ternyata jarumnya hilang L padahal belum setengahnya berbentuk taaasss… *tas, alay!*. Saat itu juga aku bertekad mencari sekali lagi dan kalau jarumnya ketemu, tidak akan berhenti merajut sebelum benar-benar selesai. Tapi sayangnya jarumnya tidak ketemu. Mungkin jatuh di tempat yang tak terjangkau, terselip atau tersapu oleh petugas cleanning service. Akhirnya aku harus terima kenyataan.. *skip*
               
Praktis setelah jarum rajutku hilang, aku berhenti merajut, menyisakan benang rajut terurai dalam sisa gulungan tak berbentuk. Supaya tidak kuingat-ingat lagi betapa sebalnya kehilangan jarum rajut itu, sisa rajutannku kusimpan dalam tas bagian paling dalam.
           
Jam 02.00 dini hari, Dorolonda berangkat dari Namlea ke Ambon. Kami akan melewati laut Banda, salah satu laut terdalam di Indonesia. Kabarnya ombaknya lebih dahsyat dari sebelumnya. Jadi beberapa temanku bersiap-siap istirahat di atas tempat tidur saja selama pelayaran ini. Singkat cerita, sekitar jam 6 pagi kami tiba di Ambon. Kami singgah untuk waktu yang cukup lama di Ambon, sampai jam 10 katanya. Koordinator pulau (salah satu perangkat yang dibentuk dalam rangka KKN), Kak Takdir (Teknik Mesin, 2013), membagi kami dalam dua kelompok yang akan bergantian turun dari kapal untuk jalan-jalan.

Kelompok kedua baru bisa keluar setelah kelompok pertama kembali. Seharusnya kelompok pertama kembali sebelum jam 9, tetapi sampai jamnya belum semua kembali. Aku yang termasuk dalam kelompok kedua hanya memiliki sisa waktu  sedikit, memutuskan tidak pergi ke gong perdamaian. Salah satu maskot Kota Ambon itu terletak sekitar 1 km dari pelabuhan. Kalau mau tau lebih lanjut tentang gong itu, cari di google aja ya. Aku dan beberapa temanku hanya turun dari kapal untuk berjalan-jalan dan berfoto di sekitar pelabuhan.

Tak lama terdengar pemberitahuan bahwa para penumpang Dorolonda harus naik karena kapal akan segera berangkat. Aku dan teman-teman berlari menaiki tangga karena tangga akan segera dilipat. Beberapa petugas memperingatkan kami agar bersegera naik. Waktu naik, kami ada di dek 4, dari sana kami langsung menuju dek 7. Kami masih jalan-jalan, berfoto dan bercanda seperti biasa sampai aku mendengar pengumuman, “Kepada penumpang dari Makassar bernama Annisa Senja Rucita diharapkan mengambil tiketnya yang terjatuh, di bagian informasi”. Awalnya kukira aku salah dengar. Setelah pengumuman diulang aku baru yakin. Bersama temanku, aku hanya tertawa dan memohon pada mereka untuk mengantarku ke bagian informasi. Sampai akhirnya korpul (koordinator pulau) datang menghampiriku dan dengan ekspresi yang dibuat seperti orang sedang marah, menyuruhku untuk segera turun bersamanya ke bagian informasi untuk mengambil tiketku. Walaupun dia sedang marah dan cerewet, tapi tetap lucu.

Di depan pintu informasi aku bertemu dengan teman waktu sama-sama bersekolah di SMKF Ditkesad (Sekolah Menengah Farmasi Direktorat Angkatan Darat), Bang Buyung. Seorang TNI AD berpangkat prada. Semenjak lulus tahun 2012, kami baru ketemu lagi 5 tahun kemudian di tempat yang tidak terduga, pada saat yang tak terduga. Kata Bang Buyung, dia sengaja menungguku di tempat itu karena mendengar namaku. Sebelum aku datang, Bang Buyung mencari info kontakku di grup chat angkatan, tapi tidak dapat. Seandainya bagian informasi tidak menyebut lengkap namaku, dia tidak akan yakin kalau itu aku. Setelah itu aku dan teman-temanku yang tadi, mengobrol dengannya. Tentangnya dan keluarga kecilnya. Kebetulan dia sedang dimutasi ke Ternate. Kamipun berpisah di Ternate.

Yang paling berkesan di pelabuhan ke-5 kami, Ternate, adalah pemandangan gagahnya Gunung Gamalama, Gunung Fitu (gunung di Pulau Tidore yang dijadikan latar di uang seribu rupiah) dan aktivitas mengambil gambar dari atap depan café dan dek teratas (tempat navigasi kapal, area khusus ABK). Singkat saja waktu transit kami di Ternate, hanya sekitar satu jam, kami langsung menuju Bitung.

Ada rasa lega karena sebentar lagi aku akan sampai, Miangas semakin dekat. Smangat!! Sepertinya teman-teman pun antusias pada pelayaran Ternate-Bitung. Masing-masing kami merapikan barang bawaan. Tidak lupa membersihkan diri (mandi) sepuasnya, karena katanya kapal kami selanjutnya tidak memiliki fasilitas yang lebih layak dari ini.

Kami sampai di Bitung sekitar jam 6 sore, seperti biasa turun, angkat barang dll. Waktu kami sedang mengantri untuk turun di tujuan akhir pelayaran ini, tiba-tiba banyak orang laki-laki berbadan kekar berlarian justru dari luar kapal. Mereka berlari seperti sedang berkejaran. Ternyata mereka adalah para kuli angkut barang. Di antara mereka adapula bapak-bapak yang berlari lebih lambat, berambut putih, agak renta. Seketika aku ingat mereka adalah orangtua, sama seperti orangtuaku yang pasti punya istri, anak dan keluarga. Betapa beratnya perjuangan mereka, bersaing dengan pemuda yang lebih kuat, berlari naik turun dari dek ke dek mencari penumpang yang mau diangkatkan barangnya dengan imbalan 20 ribu sampai 50 ribu rupiah.


Total lama perjalanan dari Makassar ke Bitung dengan Dorolonda yaitu 3 hari dan 3 malam (tanggal 10 pagi-13 sore). Enam pelabuhan dan setidaknya  lima pulau yang kami singgahi yaitu Seokarno Hatta (Makassar,  P. Sulawesi) - Murhum (Baubau, P. Buton) - Namlea (Namlea, P. Buru) - Yos Soedarso (Ambon, P. Maluku) - Ahmad Yani (Ternate, P. Ternate ) -  Bitung (Manado, P. Sulawesi).


Perjalanan ke Miangas disambung dengan kapal Meliku Nusa. Bersambung…

Senin, 31 Juli 2017

Dorolonda (1), Cerita Perjalanan KKN Miangas 96



Dorolonda, Senin, 10 Juli 2017

Hari ini dimulai dengan drama menunggu kedatangan dalmas di UPT KKN UNHAS. Sejak pukul 9 malam kemarin pelataran UPT KKN sudah dipenuhi dengan barang bawaan peserta KKN Tematik Miangas gel. 96. Seiring larutnya malam, satu-persatu peserta KKN Tematik Miangas gel. 96 berdatangan dengan barang bawaan pribadinya masing-masing.

Jam 1.27 dini hari mobil dalmas yang ditunggu baru datang. Segera para laki-laki mengangkut barang ke dalmas. Setelah semua barang tertata rapih di atas dalmas, kami harus berkumpul untuk menerima arahan dari supervisor kami. Beliau berpesan kepada kami agar minum obat anti mabuk untuk menghadapi ombak 😎

Jam 2.10 kami berangkat ke Pelabuhan Soekarno-Hatta dan sampai sekitar 30 menit kemudian. Setelah sampai kami belum boleh naik ke ruang tunggu karena saat itu masih jam 2.30 sedangkan kapal baru sandar jam 6 pagi. Untuk mengisi waktu tunggu kami bermain game tantangan, bercanda dan tidur di pelataran depan tempat parkir.

Subuh pun menjelang, seusai sholat Subuh di masjid dekat pelabuhan kami berkumpul untuk mendapatkan tiket dan melakukan verifikasi. Setelah terverifikasi kami memasuki ruang tunggu kapal yang nyaman. Di sini, beberapa teman men-charge batere handphone, tab dan pb-nya.

Akhirnya yang ditunggu pun datang, si kapal Dorolonda. Perlu beberapa waktu sampai kapal benar-benar siap dinaiki. Beruntung berkat koordinasi yang baik dengan pihak Pelni, kami menjadi penumpang prioritas. Artinya kami menjadi penumpang pertama yang masuk sebelum banyak penumpang lain. Tidak hanya itu, kami masuk dengan pengawalan abk menuju kamar dek dua yang masih lengang. Saat itu waktu menunjukkan jam 7.15 am. Kemudian kami menempati kasur-kasur yang telah disediakan. Setelah semuanya terisi, ternyata masih ada teman yang tidak kebagian tempat. Jadi, mereka menempati ruangan di sebelah lain dek dua.

Sebenarnya mungkin seluruh peserta KKN ini yang berjumlah 67 orang bisa bersatu (kayak power ranger aja haha) dalam ruangan pertama, tetapi karena masih ada penumpang dari pelabuhan sebelumnya yang belum turun, jadi kasurnya tidak cukup. Setelah urusan tag tempat selesai, giliran barang yang harus dipindahkan. Urusan angkat dan angkut barang, menjadi tanggung jawab laki-laki. Bukannya para perempuan tidak mau, tapi takut melukai harga diri mereka saja (hehehe maaf asal ngomong)

Tidak butuh waktu lama, semua barang (perlengkapan proker KKN dan pribadi) telah terangkut ke atas kapal. Menurut salah satu temanku, setelah mengangkut barang-barang itu tangannya menjadi pucat dan sedikit mati rasa, mungkin karena aliran darahnya terhambat.

Akhirnya kapal pun meninggalkan pelabuhan sekitar jam 9 (padahal di tiket jam 2 dini hari). Kami menumpang kapal Dorolonda dengan tiket jurusan Makassar-Bitung seharga Rp. 445.000.- Rute perjalanan yang akan kami lewati yaitu Makassar, Bau-Bau, Namlea, Ambon, Ternate, Bitung. Kapal ini mempunyai dua kelas yaitu ekonomi dan bisnis. Kami membeli kelas ekonomi. Bedanya dengan kelas bisnis, ruangan kelas bisnis khusus untuk satu orang dengan single bed, lemari dan meja. Kamar mandinya pun lebih bagus. Kelas bisnis hanya ada di dek 5, selebihnya kelas ekonomi (saya serius, semua bagian dalam kapal ini berhak ditempati oleh penumpang pemegang tiket ekonomi, bahkan di tangga. Oh kecuali mushola!). Dapur atau pantry ada di dek 4. Kamar mandi ada setidaknya masing-masing dua (untuk laki-laki dan perempuan) di setiap dek. Dalam setiap kamar mandi (saya hanya observasi km perempuan) ada wastafel, dua bilik untuk shower, dan tiga bilik untuk wc. Bila beruntung, wastafel yang masih berfungsi dengan baik bisa diatur untuk mengalirkan air hangat. Kapal ini juga memiliki pengatur sirkulasi udara atau AC, tapi tidak bisa terlalu dingin. Bagaimanapun lumayanlah untuk sekedar memutar udara karena tidak ada ventilasi di dek 1-6.


Masih bicara soal fasilitas, kapal ini juga dilengkapi dengan bioskop ala kapal bernama “Theatre Dorolonda”. Informasi terkait film yang akan tayang dan gambaran pemeran utamanya serta seputar filmnya disampaikan melalui pengeras suara yang terpasang di hampir seluruh ruangan atau bagian kapal. Petugas yang menyuarakan informasi tersebut menyampaiakannya dengan gaya bicara yang khas, agak mendesah dan sok dramatis. Gaya bicara ini sering diparodikan oleh teman-teman.

Tujuan pertama kami yaitu pelabuhan Bau-Bau. Ombak tidak terlalu tinggi, jadi kami bisa istirahat dengan tenang dan baik. Saya terbangun sekitar jam 2 siang. Rupanya pantry sudah hampir ditutup, saya dan Ani mengantri makan siang di dek 4. Menu yang kami dapatkan siang ini yaitu ikan bolu (bandeng) masak, tumis kol dan nasi, serta air mineral dalam kemasan gelas. Menu ini tidak jauh berbeda dengan menu dalam kapal Umsini jurusan Surabaya-Makassar.

Setelah makan, saya dan Ani sholat ashar sekaligus dzuhur di mushola yang terletak di dek 7. Sejauh ini suasana di dek 2 masih nyaman dan keadaan teman-teman masih baik, beberapa teman mengisi waktu dengan tidur, main kartu, game warewolf, menonton tv, mengobrol sambil menikmati makanan ringan, atau menonton film di laptop. 

Sore pertama di kapal mengundang teman-teman untuk keluar dari dek 2 dan naik ke dek 7 di mana kita bisa menikmati udara langsung dan melihat pemandangan langit karena sebagian dek ini tidak beratap. Ada satu tingkat lagi di atas dek 7 yaitu tempat kafe yang menawarkan sensasi makan dengan pemandangan laut khas di atas kapal lengkap dengan anginnya.

Sepertinya teman-teman pergi ke kafe tersebut untuk berfoto bersama senja. Apa perbedaan senja di atas laut ….  (antara Makassar - Bau-bau) dengan senja di tempat lain? Saya kira lebih pada momennya, lainnya sama saja. 

Bumi berputar semakin ke timur, kami yang di tempat seolah ditinggalkan matahari. Langitpun kehilangan sinarnya. Teman-teman kembali ke dek 2. Saatnya makan malam. Kali ini hanya beberapa teman laki-laki yang mengantri makanan, karena yang lain hanya menitipkan tiketnya. Lumayan untuk mengurangi panjangnya antrian kan? Hehe (terimakasih kepada teman-teman yang sudah berbaik hati mengambilkan makanan 😊😊😊 ). Ada juga yang lebih memilih makan mie instan yang diseduh air panas. Salah satu fasilitas di kapal besar yaitu keran air panas yang bisa digunakan untuk menyeduh minuman atau makanan. Biasanya hanya ada di dalam satu dek bersama dapur.

Sebelum tidur sayup-sayup kudengar bahwa beberapa saat lagi kapal akan bersandar di Bau-Bau, kota transit pertama di Pulau Buton. Terakhir kulihat jam di hpku menunjukkan pukul sebelas.
Bersambung….

Jumat, 17 Februari 2017

Let Us Look Around


I don't know exactly why i want to write about this. Maybe its my turning point to be mature. There's something encourage me to realize, but i forgot it :p poor me... -_-
I don't know how to say it nicely, so i read many article related this theme, then i resume it.

Let's look around. Seriously, It speaks for itself. Everything on this earth is a continuous state of evolving, refining, improving, adapting, enhancing.. changing. Appreciate what we have, nothing will be the same. We must learn to let go. Release the stress. Forgive our self. We were never in control, anyway.

Life moves pretty fast. If we don’t stop and look around once in a while, we could miss it. Look around us and look inside our self. How many people settling? People are settling every day into okay relationship, okay jobs and an okay life. Maybe it because okay is comfortable. Okay pays the bill and gives a warm bed at night and allows one to get out to enjoy happy hour. But actually, okay isn’t thrilling, it isn’t passion, it isn’t life changing or unforgettable. Okay is not the reason you go to bed late and wake up early. Okay is not the reason you risk absolutely everything you’ve got just for the smallest chance that something absolutely amazing could happen.

Every living things is going to die. The time will come when we have to say goodbye. We don’t know when. It could be tomorrow or next week. Yet, we live as if it will never happen. Beware with our words. It might be our last words. We would have to find a way to live with that.


Konsep Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan



Kata gender telah digunakan di Amerika tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun agama untuk menyuarakan eksistensi perempuan yang kemudian melahirkan kesadaran gender. Menurut Eline Sholwater (1989) sebagaimana dikemukakan Umar bahwa wacana gender mulai berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok feminis London meninggalkan isu-isu lama yang disebut dengan patriarchal kemudian menggantinya dengan isu gender. Sejak saat itu konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga. Di Indonesia istilah gender lazim dipergunakan di Kantor Menteri Negara Peranan Wanita dengan ejaan gender yang diartikan sebagai interpertasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin.

Gender berasal dari bahasa latin Genus yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan secara kodrati.

Setiap makhluk termasuk manusia, pada umumnya hanya memiliki dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan.  Pembagian jenis kelamin ini dikenal di seluruh dunia yang dibarengi dengan tuntutan peran sosial yang kemudian disebut gender. Namun, dalam hal tradisi dan adat-istiadat, tidak semua budaya memiliki pandangan yang sama dalam hal pembagian gender yang hanya dua itu. Ada beberapa masyarakat yang membagi gender dalam tiga, lima atau lebih. Bahkan masyarakat  Muangthai mengenal sekitar 10 gender, yang juga dibarengi dengan tuntutan kefemininan dan kemaskulinan dari masing-masing gender yang berbeda-beda.

Suku Bugis di Sulawesi Selatan membagi masyarakat mereka menjadi 5 jenis gender. Lima jari tangan dari jempol hingga kelingking adalah simbol analogi gender di Sulawesi Selatan. Ibu jari  melambangkan bura’ne (laki-laki), kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu.

Bura’ne” atau “Oroane”  artinya pria atau lelaki, biasanya jenis kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan.

“Makkunrai” artinya wanita atau perempuan. Mereka kerapkali dituntut untuk menjadi feminin, jatuh cinta dan bersedia menikah dengan lelaki, mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib melayani suami.

“Calabai” adalah laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan. Menurut konsep gender Bugis, calabai adalah 'wanita palsu'. Oleh karena itu, orang-orang ini umumnya laki-laki secara fisik tapi mengambil peran seorang perempuan heteroseksual. Mode dan ekspresi gender seorang calabai jelas feminin, tetapi tidak cocok dengan "khas" gender wanita.

“Calalai” adalah perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki, Calalai biasa juga disebut perempuan maskulin/tomboy. Bahasa Makassarnya ‘Balaki’. Kelompok ini mengacu pada orang yang ditugaskan perempuan saat lahir tetapi mengambil peran laki-laki heteroseksual dalam masyarakat Bugis. Calalai individu yang tidak "bertransisi" seperti kebanyakan orang trans gender Barat, calalai hanya berpakaian dan menampilkan diri dalam mode maskulin pria.

 “Bissu”, sebagai gender ke-5 berbeda dengan 4 gender yang lain. Mereka adalah golongan yang disebut ‘bukan lelaki bukan pula perempuan’. Bissu atau kelompok orang orang mistik, dalam budaya Bugis mereka memiliki posisi yang sangat penting. Pada setiap upacara adat Bugis, mereka bertindak sebagai ‘pendeta’ atau ‘pemangku adat’. Mereka masih menjaga teguh tradisi dan peran serta kebiasaan turun temurun nilai-nilai budaya bugis klasik dan diilustrasikan sebagai manusia setengah dewa yang mempunyai kekuatan Supranatural.

Pada masa lalu, bissu dianggap sebagai pranata spiritual paling vital sebagai penyambung dan penghubung antara manusia dan dewa. Hal ini dimungkinkan karena bissu menguasai bahasa langit (Basa Torilangi). Bahkan di beberapa kerajaan, bissu dilindungi oleh raja dan diberikan amanah dalam menjaga arajang (pusaka kerajaan).

Filolog Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi yang pernah melakukan penelitian sosial menyatakan bahwa calalai dan calabai diterima di tengah masyarakat. Mereka hidup layaknya seperti orang lain.  Namun, perubahaan perlahan-lahan terjadi. Ketika budaya baru muncul, dalam hal ini agama (Kristen dan Islam) yang menempatkan pembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara kodrati. Kemudian akhirnya calalai, calabai dan bissu  menjadi masyarakat kelas dua. (Muhlis Hadrawi)

Bahkan pada periode tertentu, saat pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan dilaksanakan Operasi Taubat. Orang-orang yang mengakui dirinya di luar dari gender perempuan dan laki-laki akan dikejar. Jika calalai akan diberikan kembali baju perempuan. Begitupun sebaliknya untuk calabai dan bissu, diberikan baju laki-laki.

Dosen Fakutas Imu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman, mengatakan bahwa  kehidupan sosial di masyarakat Bugis dan Makassar (umumnya Sulawesi Selatan) sejak masa lalu mengenal lima identifikasi gender tersebut. Secara individu per individu sikap saling menghargai itu muncul. Bahkan, karena tingginya toleransi di kalangan kelompok, bissu misalnya mendapatkan tempat penting dalam sebuah ritual. Tapi bagi Alwi, budaya Bugis dan Makassar itu sangat maskulin. Karakter akan keberanian, keteguhan dan keperkasaan selalu menampilkan sosok laki-laki. Namun bukan berarti sisi maskulinitas ini mengabaikan identitas gender lainnya. Di Sulawesi Selatan pada masa kerajaan, tidak sulit ditemukan raja perempuan.

Christian Pelras dalam Manusia Bugis, menuliskan relasi gender masyarakat Bugis begitu cair. Hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tidak saling membatasi gerak. Orang Bugis tidak menganggap laki-laki atau perempuan lebih dominan satu sama lain. Pelras, mengutip Sir Stamford Raffles pada 1817 bahwa di Sulawesi Selatan perempuan tampil lebih terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajuan yang dicapai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia lain. Namun kemudian bagi Pelras, calabai yang dituliskannya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan calalai sebagai “jenis kelamin keempat” masing-masing memiliki peran di masyarakat. Tak jarang, calabai akan berperan dalam prosesi ritual tradisional sebagai indo’ botting (ibu pengantin yang berperan dalam menentukan langgeng tidaknya pasangan). 

James Brooke dalam jurnal perjalanannya ke Wajo pada 1840 mengatakan, tentang kebiasaan seorang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu.

Meskipun perbedaan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar dalam ungkapan mau’ni na woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane sipa’na” (meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki).

Rabu, 28 September 2016

Arkeolog (juga) Belajar Annal, tapi jangan Onani!


Agak sensual ya judulnya?  Hayoo… jangan-jangan ada yang terjebak :D
Sebenarnya saya bingung mau kasih judul apa atas tulisan saya kali ini. Inspirasinya datang ketika saya mengikuti diskusi di himpunan. Beberapa kali saya mendengar kata-kata yang orientasinya seks tapi digunakan di dalam himpunan atau bahkan diskusi di BEM. 

Misalnya ketika beberapa waktu lalu saya diskusi di himpunan, saya mengungkapkan penyesalan saya tentang kenapa tidak dari dulu saya mengikuti kegiatan semacam ini (diskusi, rapat, main-main bersama teman-teman dan senior), karena ternyata bermanfaat. 

Dulu saya pikir, ikut rapat di himpunan itu sia-sia. Eh, sebenarnya ada juga yang bisa didapat  sih. Yang saya rasakan dulu, saya dapat pikiran tertekan, capek duduk, kaki pegel, bikin sesak napas (didukung asap rokok yang lebih mengkhawatirkan dari asap kebakaran hutan). Menurut saya Darurat Asap bukan cuma di Riau, tapi di Himpunan juga. Serius!

Tapi kemudian ada senior yang bilang,”Tidak harus juga seperti itu, karena berbeda-beda cara orang belajar. Ada yang suka onani, anal, bisek hahaha”

Karena pernah mendengar dia bicara seperti itu sebelumnya, pun dari senior lain,  saya berpikir pasti kata-kata itu benar-benar ada artinya dalam konteks belajar, berorganisasi atau berlembaga.

Nah, untuk mencari tau artinya, saya surfing di internet, tapi bisa ditebak, yang muncul malah situs-situs yang membahas kata-kata itu dalam konteks lain.

Akhirnya saya bertanya kepada teman-teman dan senior-senior, tertentu, yang cukup dewasa dan bisa serius diajak diskusi.  Saya ga sanggup cerita betapa awkward-nya waktu proses cari tau tentang ini. Jadi cukup kontennya aja ya..

Apa yang saya dapat, 

“Maksudnya onani dalam belajar, kau belajar hanya untuk  dirimu sendiri itu pengetahuan, lalu pergi sombong ke orang-orang yang belum tau hanya supaya kau dibilang cerdas. Tidak ada lawan bicara, diskusi,  dan kontribusi nyata untuk mengembangkan diri. Kita belajar hanya untuk mencapai kepuasan sendiri dan sok sendiri.”

Itu sebagian maksudnya yang masih dalam proses belajar, sebagian lagi ketika hasil dari semua yang kamu dapat dari proses belajarmu hanya berguna untuk dirimu sendiri, tidak punya guna atau pengaruh bagi kebaikan orang lain.

Ada bacaan menarik di blog Peter-Sina berjudul Onani Intelektual. Di sana Peter Garlan Sina mengungkapkan pendapatnya tentang bagaimana membuang onani intelektual. Diantaranya dengan bedah buku dan diskusi yang katanya bagai magnet dalam pendidikannya.

“Seorang manusia yang sedang belajar entah dalam jenjang pendidikan apa saja, haruslah ada kerelaan dan kesadaran yang tulus ikhlas untuk membantu teman-temannya. Karena dengan membantu teman-temannya maka orang tersebut sebenarnya sedang belajar juga dan akan meningkatkan pengetahuannya. Tapi semua itu biasanya hanyalah pada tataran normatif karena pada kenyataannya sifat kikir untuk mendiskusikan atau mensharekan IPTEK sering terjadi dibandingkan kerelaan mensharekan”

“Manfaat dari saling berdiskusi dan melakukan bedah buku sangat menolong kita untuk saling memotivasi sehingga semangat belajar atau menemukan ilmu menjadi begitu indah nan luar biasa. Dan hal ini apabila dilakukan secara berkesinambungan akan sangat bermanfaat sebagai nutrisi segar membangun kebiasaan untuk senantiasa belajar dan belajar selama masih hidup”

Sedangkan annal sendiri diartikan sebagai catatan tahunan yaitu catatan peristiwa pada setiap tahun, biasanya peristiwa-peristiwa penting dalam suatu kerajaan. Arkeolog, sejarawan, berikut serumpunnya bekerja dengan ini.

Jadi kalau dengar kata-kata seperti di atas, jangan buru-buru salah paham ya..
Saatnya balo (bawa logika), perhatikan konteksnya.