Masih di
Dorolonda…
Baubau
– Namlea
Aku terbangun jam 00.47 karena merasa lapar dan sakit perut. Mataku
yang masih mengantuk menelusuri seisi ruangan, banyak yang sedang terlelap.
Tapi ada sekelompok teman yang sedang (aku tidak yakin) mengobrol dan makan
mie. Tepat saat mereka bertemu pandang denganku, aku dipanggil untuk bergabung,
tapi aku merasa malu untuk ikutan. Akhirnya aku hanya pergi ke kamar mandi.
Saat itu aku melihat suasana yang berbeda di dek ini. Lantai dek menjadi penuh
dengan barang-barang dan orang yang sedang tidur. Rupanya waktu singgah di
Baubau, penumpang yang turun jauh lebih sedikit daripada yang naik. Nampaklah
wajah-wajah lelah yang sudah tidak peduli di mana pun tempatnya yang penting
dirinya bisa beristirahat. Bahkan (maaf) di dekat tempat sampah di depan pintu
kamar mandi. Tidak lama setelah kembali dari kamar mandi, aku tertidur lagi.
Sebelum azan subuh, aku terbangun. Ini subuh pertama kami di kapal
ini. Sebagian dari kami sholat subuh di mushola yang ada di dek 7. Setelah itu
kami sarapan, mandi, dan melakukan aktivitas di atas kapal seperti sebelumnya
(main game warewolf, uno, joker, menonton tv, jalan-jalan menjelajah kapal, mengobrol
sambil ngemil, dll). Kami berada dalam perjalanan Bau-bau ke Namlea. Semakin lama
ombak semakin kencang. Ini bisa dirasakan dari getaran dan ayunan badan kapal,
juga jelas terlihat dari deburan ombak yang menghempas kaca jendela–jendela berbentuk
bulat yang ada di dua sisi dinding dek ini.
Satu per satu teman-teman mulai menunjukkan kondisi yang kurang
baik. Ada yang mual, pusing, sampai tidak mampu beranjak dari tempat tidurnya.
Mulailah masuk obat-obatan penangkalnya. Praktis aktivitas kami tidak seberagam
sebelumnya. Sebagian besar teman-teman yang mabuk laut ini hanya tinggal di
tempat tidur. Termasuk aku, padahal aku sedang berusaha menyelesaikan rajutan
yang sengaja kubawa untuk mengisi waktu senggang. Seharusnya aku bisa membuat
satu tas rajut kecil selama perjalanan ke Miangas. Nantinya tas ini akan
kugunakan di sana. Tapi sayangnya aku merasa pusing dan ingin tidur saja.
Bangun tidur, aku merasa lebih baik. Tidak lagi pusing dan bisa
melanjutkan rajutanku. Teman-teman pun sepertinya mulai membaik. Karena ombak
sudah mulai tenang, teman-teman bisa mandi dan makan dengan baik. Keseruan
permaian warewolf dan yang lainnya kembali hidup dan mewarnai suasana dalam dek
ini. Aku pun memilih ikut larut bermain bersama mereka dibanding merajut lagi.
Mulai dari uno, joker, warewolf (dalam kelompok kecil), sampai permainan
semacam monopoli yang ada di hp, aku mainkan bersama teman-teman.
Namlea – Ambon – Ternate – Bitung
Kami tiba di Namlea tengah
malam, sebagian teman-teman naik ke dek 7 dan kafe untuk menikmati udara segar,
mengambil gambar dan mengaktifkan jaringan seluler. Maklum, selama di tengah
lautan tidak ada jaringan, kalaupun ada hanya bisa untuk menelpon dan sms,
tidak internetan. Jadi saat-saat
singgah di pelabuhan transit adalah saat-saat yang dinantikan. Bagi kami, generasi
millennial (kata temanku), terhubung dengan internet merupakan suatu kebutuhan.
Pada saat-saat seperti ini kita dapat menemukan fenomena yang dalam pelajaran
sosiologi di SMP disebut crowded,
suatu kelompok yang kumpul di satu tempat karena punya kepentingan yang sama
tapi tidak saling berinteraksi. Kami sibuk dengan aktifitas telponan atau sms-an, chatting, video call, update sosmed,
dll dengan gadget masing-masing. Ada
juga yang keranjingan online game.
Untungnya fenomena ini tidak berlangsung lama. Setelah mengabari keluarga dan
yang perlu dikabari, kami kembali berkumpul dengan kesadaran bahwa kami adalah
keluarga yang disatukan dalam KKN.
Sebagian teman telah kembali ke
dek dua untuk beristirahat. Aku dan temanku masih tinggal dan mengobrol dengan
teman-teman dan beberapa penumpang. Kebetulan aku sedang membaca tulisan
tentang warga Maluku yang suka bermusik, ramah dan spontan. Aku juga sedang
mengantri baca novel Kei. Tiba saatnya menjadi saksi langsung atas apa yang
sedang dan akan kubaca, walaupun hanya dengan observasi singkat kepada
penumpang kapal. Kami sedang singgah di Pulau Buru, tepatnya di pelabuhannya
yang bernama Namlea. Pulau terbesar ketiga dalam Kepulauan Maluku ini adalah
salah satu tempat pengasingan bagi para tahanan di zaman Presiden Soeharto.
Konon katanya pulau ini merupakan pulau para buruh/pekerja. Pulau Buru pernah
menjadi inspirasi bagi penulis besar, Pramoedia Ananta Toer. Di kafe yang full music ini aku melihat dua orang
penumpang bermain kartu dengan taruhan siapa yang kalah harus mengalungkan
botol air mineral (masih ada isinya) yang diikat dengan tali sepatu di
telinganya. Tak pernah serius, mereka selalu membuat lelucon yang mengundang
tawa. Dan lucunya mereka sama-sama bermain curang tanpa sepengetahuan lawannya.
Tak ada minuman alkohol, hanya dua botol aqua. Mereka tidak mabuk, meskipun
tindakannya seperti orang kurang sehat akalnya *hahaha*.
Setelah mereka bubar, aku dan
beberapa temanku kembali ke dek dua untuk tidur. Keesokan paginya, setelah
rutinitas pagiku kelar, aku teringat pada nasib rajutanku. Setelah kucari
ternyata jarumnya hilang L padahal belum setengahnya berbentuk taaasss… *tas, alay!*. Saat itu
juga aku bertekad mencari sekali lagi dan kalau jarumnya ketemu, tidak akan
berhenti merajut sebelum benar-benar selesai. Tapi sayangnya jarumnya tidak
ketemu. Mungkin jatuh di tempat yang tak terjangkau, terselip atau tersapu oleh
petugas cleanning service. Akhirnya
aku harus terima kenyataan.. *skip*
Praktis setelah jarum rajutku
hilang, aku berhenti merajut, menyisakan benang rajut terurai dalam sisa
gulungan tak berbentuk. Supaya tidak kuingat-ingat lagi betapa sebalnya
kehilangan jarum rajut itu, sisa rajutannku kusimpan dalam tas bagian paling dalam.
Jam 02.00 dini hari, Dorolonda
berangkat dari Namlea ke Ambon. Kami akan melewati laut Banda, salah satu laut
terdalam di Indonesia. Kabarnya ombaknya lebih dahsyat dari sebelumnya. Jadi
beberapa temanku bersiap-siap istirahat di atas tempat tidur saja selama
pelayaran ini. Singkat cerita, sekitar jam 6 pagi kami tiba di Ambon. Kami
singgah untuk waktu yang cukup lama di Ambon, sampai jam 10 katanya.
Koordinator pulau (salah satu perangkat yang dibentuk dalam rangka KKN), Kak
Takdir (Teknik Mesin, 2013), membagi kami dalam dua kelompok yang akan
bergantian turun dari kapal untuk jalan-jalan.
Kelompok kedua baru bisa keluar setelah kelompok pertama kembali.
Seharusnya kelompok pertama kembali sebelum jam 9, tetapi sampai jamnya belum
semua kembali. Aku yang termasuk dalam kelompok kedua hanya memiliki sisa waktu sedikit, memutuskan tidak pergi ke gong
perdamaian. Salah satu maskot Kota Ambon itu terletak sekitar 1 km dari
pelabuhan. Kalau mau tau lebih lanjut tentang gong itu, cari di google aja ya. Aku
dan beberapa temanku hanya turun dari kapal untuk berjalan-jalan dan berfoto di
sekitar pelabuhan.
Tak lama terdengar pemberitahuan bahwa para penumpang Dorolonda
harus naik karena kapal akan segera berangkat. Aku dan teman-teman berlari
menaiki tangga karena tangga akan segera dilipat. Beberapa petugas memperingatkan
kami agar bersegera naik. Waktu naik, kami ada di dek 4, dari sana kami
langsung menuju dek 7. Kami masih jalan-jalan, berfoto dan bercanda seperti
biasa sampai aku mendengar pengumuman, “Kepada penumpang dari Makassar bernama
Annisa Senja Rucita diharapkan mengambil tiketnya yang terjatuh, di bagian
informasi”. Awalnya kukira aku salah dengar. Setelah pengumuman diulang aku
baru yakin. Bersama temanku, aku hanya tertawa dan memohon pada mereka untuk
mengantarku ke bagian informasi. Sampai akhirnya korpul (koordinator pulau)
datang menghampiriku dan dengan ekspresi yang dibuat seperti orang sedang marah,
menyuruhku untuk segera turun bersamanya ke bagian informasi untuk mengambil
tiketku. Walaupun dia sedang marah dan cerewet, tapi tetap lucu.
Di depan pintu informasi aku bertemu dengan teman waktu sama-sama
bersekolah di SMKF Ditkesad (Sekolah Menengah Farmasi Direktorat Angkatan
Darat), Bang Buyung. Seorang TNI AD berpangkat prada. Semenjak lulus tahun
2012, kami baru ketemu lagi 5 tahun kemudian di tempat yang tidak terduga, pada
saat yang tak terduga. Kata Bang Buyung, dia sengaja menungguku di tempat itu
karena mendengar namaku. Sebelum aku datang, Bang Buyung mencari info kontakku
di grup chat angkatan, tapi tidak dapat. Seandainya bagian informasi tidak
menyebut lengkap namaku, dia tidak akan yakin kalau itu aku. Setelah itu aku
dan teman-temanku yang tadi, mengobrol dengannya. Tentangnya dan keluarga
kecilnya. Kebetulan dia sedang dimutasi ke Ternate. Kamipun berpisah di
Ternate.
Yang paling berkesan di pelabuhan ke-5 kami, Ternate, adalah
pemandangan gagahnya Gunung Gamalama, Gunung Fitu (gunung di Pulau Tidore yang
dijadikan latar di uang seribu rupiah) dan aktivitas mengambil gambar dari atap
depan café dan dek teratas (tempat navigasi kapal, area khusus ABK). Singkat
saja waktu transit kami di Ternate, hanya sekitar satu jam, kami langsung
menuju Bitung.
Ada rasa lega karena sebentar lagi aku akan sampai, Miangas semakin
dekat. Smangat!! Sepertinya teman-teman pun antusias pada pelayaran
Ternate-Bitung. Masing-masing kami merapikan barang bawaan. Tidak lupa
membersihkan diri (mandi) sepuasnya, karena katanya kapal kami selanjutnya
tidak memiliki fasilitas yang lebih layak dari ini.
Kami sampai di Bitung sekitar jam 6 sore, seperti biasa turun,
angkat barang dll. Waktu kami sedang mengantri untuk turun di tujuan akhir
pelayaran ini, tiba-tiba banyak orang laki-laki berbadan kekar berlarian justru
dari luar kapal. Mereka berlari seperti sedang berkejaran. Ternyata mereka
adalah para kuli angkut barang. Di antara mereka adapula bapak-bapak yang
berlari lebih lambat, berambut putih, agak renta. Seketika aku ingat mereka
adalah orangtua, sama seperti orangtuaku yang pasti punya istri, anak dan
keluarga. Betapa beratnya perjuangan mereka, bersaing dengan pemuda yang lebih
kuat, berlari naik turun dari dek ke dek mencari penumpang yang mau diangkatkan
barangnya
dengan imbalan 20 ribu sampai 50 ribu rupiah.
Total
lama perjalanan dari Makassar ke Bitung dengan Dorolonda yaitu 3 hari dan 3
malam (tanggal 10 pagi-13 sore). Enam pelabuhan dan setidaknya lima pulau yang kami singgahi yaitu Seokarno
Hatta (Makassar, P. Sulawesi) - Murhum
(Baubau, P. Buton) - Namlea (Namlea, P. Buru) - Yos Soedarso (Ambon, P. Maluku) - Ahmad Yani (Ternate, P. Ternate ) - Bitung (Manado, P. Sulawesi).
Perjalanan ke Miangas disambung dengan kapal Meliku Nusa.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar