Jumat, 17 Februari 2017

Konsep Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan



Kata gender telah digunakan di Amerika tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun agama untuk menyuarakan eksistensi perempuan yang kemudian melahirkan kesadaran gender. Menurut Eline Sholwater (1989) sebagaimana dikemukakan Umar bahwa wacana gender mulai berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok feminis London meninggalkan isu-isu lama yang disebut dengan patriarchal kemudian menggantinya dengan isu gender. Sejak saat itu konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga. Di Indonesia istilah gender lazim dipergunakan di Kantor Menteri Negara Peranan Wanita dengan ejaan gender yang diartikan sebagai interpertasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin.

Gender berasal dari bahasa latin Genus yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan secara kodrati.

Setiap makhluk termasuk manusia, pada umumnya hanya memiliki dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan.  Pembagian jenis kelamin ini dikenal di seluruh dunia yang dibarengi dengan tuntutan peran sosial yang kemudian disebut gender. Namun, dalam hal tradisi dan adat-istiadat, tidak semua budaya memiliki pandangan yang sama dalam hal pembagian gender yang hanya dua itu. Ada beberapa masyarakat yang membagi gender dalam tiga, lima atau lebih. Bahkan masyarakat  Muangthai mengenal sekitar 10 gender, yang juga dibarengi dengan tuntutan kefemininan dan kemaskulinan dari masing-masing gender yang berbeda-beda.

Suku Bugis di Sulawesi Selatan membagi masyarakat mereka menjadi 5 jenis gender. Lima jari tangan dari jempol hingga kelingking adalah simbol analogi gender di Sulawesi Selatan. Ibu jari  melambangkan bura’ne (laki-laki), kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu.

Bura’ne” atau “Oroane”  artinya pria atau lelaki, biasanya jenis kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan.

“Makkunrai” artinya wanita atau perempuan. Mereka kerapkali dituntut untuk menjadi feminin, jatuh cinta dan bersedia menikah dengan lelaki, mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib melayani suami.

“Calabai” adalah laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan. Menurut konsep gender Bugis, calabai adalah 'wanita palsu'. Oleh karena itu, orang-orang ini umumnya laki-laki secara fisik tapi mengambil peran seorang perempuan heteroseksual. Mode dan ekspresi gender seorang calabai jelas feminin, tetapi tidak cocok dengan "khas" gender wanita.

“Calalai” adalah perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki, Calalai biasa juga disebut perempuan maskulin/tomboy. Bahasa Makassarnya ‘Balaki’. Kelompok ini mengacu pada orang yang ditugaskan perempuan saat lahir tetapi mengambil peran laki-laki heteroseksual dalam masyarakat Bugis. Calalai individu yang tidak "bertransisi" seperti kebanyakan orang trans gender Barat, calalai hanya berpakaian dan menampilkan diri dalam mode maskulin pria.

 “Bissu”, sebagai gender ke-5 berbeda dengan 4 gender yang lain. Mereka adalah golongan yang disebut ‘bukan lelaki bukan pula perempuan’. Bissu atau kelompok orang orang mistik, dalam budaya Bugis mereka memiliki posisi yang sangat penting. Pada setiap upacara adat Bugis, mereka bertindak sebagai ‘pendeta’ atau ‘pemangku adat’. Mereka masih menjaga teguh tradisi dan peran serta kebiasaan turun temurun nilai-nilai budaya bugis klasik dan diilustrasikan sebagai manusia setengah dewa yang mempunyai kekuatan Supranatural.

Pada masa lalu, bissu dianggap sebagai pranata spiritual paling vital sebagai penyambung dan penghubung antara manusia dan dewa. Hal ini dimungkinkan karena bissu menguasai bahasa langit (Basa Torilangi). Bahkan di beberapa kerajaan, bissu dilindungi oleh raja dan diberikan amanah dalam menjaga arajang (pusaka kerajaan).

Filolog Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi yang pernah melakukan penelitian sosial menyatakan bahwa calalai dan calabai diterima di tengah masyarakat. Mereka hidup layaknya seperti orang lain.  Namun, perubahaan perlahan-lahan terjadi. Ketika budaya baru muncul, dalam hal ini agama (Kristen dan Islam) yang menempatkan pembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara kodrati. Kemudian akhirnya calalai, calabai dan bissu  menjadi masyarakat kelas dua. (Muhlis Hadrawi)

Bahkan pada periode tertentu, saat pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan dilaksanakan Operasi Taubat. Orang-orang yang mengakui dirinya di luar dari gender perempuan dan laki-laki akan dikejar. Jika calalai akan diberikan kembali baju perempuan. Begitupun sebaliknya untuk calabai dan bissu, diberikan baju laki-laki.

Dosen Fakutas Imu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman, mengatakan bahwa  kehidupan sosial di masyarakat Bugis dan Makassar (umumnya Sulawesi Selatan) sejak masa lalu mengenal lima identifikasi gender tersebut. Secara individu per individu sikap saling menghargai itu muncul. Bahkan, karena tingginya toleransi di kalangan kelompok, bissu misalnya mendapatkan tempat penting dalam sebuah ritual. Tapi bagi Alwi, budaya Bugis dan Makassar itu sangat maskulin. Karakter akan keberanian, keteguhan dan keperkasaan selalu menampilkan sosok laki-laki. Namun bukan berarti sisi maskulinitas ini mengabaikan identitas gender lainnya. Di Sulawesi Selatan pada masa kerajaan, tidak sulit ditemukan raja perempuan.

Christian Pelras dalam Manusia Bugis, menuliskan relasi gender masyarakat Bugis begitu cair. Hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tidak saling membatasi gerak. Orang Bugis tidak menganggap laki-laki atau perempuan lebih dominan satu sama lain. Pelras, mengutip Sir Stamford Raffles pada 1817 bahwa di Sulawesi Selatan perempuan tampil lebih terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajuan yang dicapai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia lain. Namun kemudian bagi Pelras, calabai yang dituliskannya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan calalai sebagai “jenis kelamin keempat” masing-masing memiliki peran di masyarakat. Tak jarang, calabai akan berperan dalam prosesi ritual tradisional sebagai indo’ botting (ibu pengantin yang berperan dalam menentukan langgeng tidaknya pasangan). 

James Brooke dalam jurnal perjalanannya ke Wajo pada 1840 mengatakan, tentang kebiasaan seorang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu.

Meskipun perbedaan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar dalam ungkapan mau’ni na woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane sipa’na” (meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar