Rabu, 21 September 2016

cerpen: Rahasia Si Sahabat,


Author: Annisa Senja Rucita 
Genre: mystery, comedy
Rate: NC 1th (yaiyala~ blom bisa baca keles)

“Dia pemeran utamanya”
“Bukan! Kamu yakin dialah pemeran utamanya?”
“Iya, saya yakin”
“Tapi dalam kehidupannya bahkan dia tidak dilirik”


Pagi-pagi Sirajuddin sudah mendengar perdebatan antara Wike dan Wahidah di sekertariat himpunan jurusannya. Padahal dia masih mengantuk karena semalaman mengobrol, bernyanyi dan bermain gitar bersama teman-temannya yang sekarangpun masih tertidur.

 “Dek-dek tolong ya jangan berisik, anak saya sedang tidur”

Wike tertawa mendengar ucapan Bambang. Sedikit cerita tentang Sirajuddin, dia lebih akrab disapa Bambang atau Bams. Konon itu adalah julukannya sejak kecil karena ia memiliki tanda lahir di jarinya. Tanda lahir itu berupa tompel sehingga menyerupai batu cincin di jarinya, dalam Bahasa Bugis tanda lahir itu disebut Bamban. Sudah biasa di Sulawesi, orang suka terpeleset lidahnya atau okots jika menyebutkan kata yang berakhiran “n”, seperti kata “bakwan” menjadi “bakwang”. Sebenarnya masih ada okots yang lain, misalnya “uang” menjadi “uan”, “mabuk laut” menjadi “mabut laut”, atau “upload di grup” menjadi “aplot di grut”. Yang paling aneh okots kata “enam” kadang menjadi “enan, kadang kadang pula “enang” *hahaha*
 
“Astaga Bambang… bangun ko! Jam berapa ini? Kuliah kuliah,” Wahidah mengingatkan sambil mengguncang tubuh Bambang yang hendak kembali beranjak tidur.

“Eh eh sentuh-sentuh, yang kemarin saja belum bayar”

“Hahaha, bangun ko… cuci mukamu, sembilan menit lagi jam delapan”

“Haaah, mukhlis, lo lo, sahabat, yoga bangun… waktunya kuliah anak muda!” dengan ekspresi pura-pura panik, Bambang segera mengguncang temannya satu per satu.

Mereka pun akhirnya terbangun setelah berkali-kali dibangunkan oleh Bambang, Wahidah dan Wike.Di ruang kuliah, Yoga mengambil tempat duduk di barisan paling belakang, kemudian duduk disampingnya Laode dan disusul Mukhlis. Bambang duduk di depan Laode. Di samping Bambang ada si sahabatnya.

“Adho, ke sini-sini ko! mengantuk saya,” Muhklis memberi isyarat untuk menutupi dirinya.

“Sahabat, pulpenmu dulu,” Bambang meminjam pulpen pada Adho karena miliknya hilang. Adho mengeluarkan isi tas selempangnya, buku catatan kecil, sepertinya notes dari seminar kit, sebuah pulpen dan pensil. Lalu memberikan pulpennya ke Bambang.

Seisi kelas menyimak pelajaran dengan santai. Ruang kelas yang luas dan peserta mata kuliah yang banyak membuat samar-samar suara diskusi, obrolan bahkan becandaan beberapa forum di sela-sela pelajaran.

“Bambang, kenapa tadi terjadi perang? Perjanjian apa yang di langgar?” tanya Mukhlis serius. “Oh itu terjadi perang ketika negara api menyerang, dan negara air sumurnya tiris. Kemudian datanglah Eng,” Bambang memberikan penjelasan tanpa menoleh ke arah Mukhlis. “Oh, jadi ini semua karena negara api, iyo? Terus kenapa negara air tidak bersekutu dengan negara angin?” balas Mukhlis. “Ndak bisa, nanti kebakaran hutan”

Mereka kembali menyimak pelajaran seolah tidak terjadi apa-apa. Yoga dan Laode hanya tertawa. Meskipun Laode sangat ingin menimpali tetapi dia urung karena mereka harus menyimak mata kuliah ini dengan baik atau mereka akan mengecewakan ibu dosen di depan kelas.

Bosan dengan suasana kelas yang datar, Bambang berbuat usil kepada Adho si sahabatnya dengan cara menarik rambutnya yang gondrong ikal sebahu namun dikuncir dengan karet gelang. “Aaaa… hss,” Adho mengeluh kesakitan. “Diam ko perhatikan ibu Ros di depan!” ia mewanti. Bambang hanya cengengesan dan malah mencolek dagu Adho. Lalu ia kembali menyimak pelajaran. Tapi tidak tahan untuk berbuat usil lagi, dia menarik kumis Adho. Adho yang pura-pura marah mencoret buku catatan Bambang, dan melanjutkan aktivitas belajarnya seolah tidak terjadi apa-apa. Bambang yang telah mendapat balasan akhirnya tertawa dan makin ingin menjahili si sahabatnya itu. Setiap perlakuan Bambang selalu mendapat balasan yang sama dari Adho, sampai akhirnya Adho menyita buku catatan Bambang dan membuangnya ke bawah kursi Bambang. “Hahaha iya iya, ampun sahabat”.

Kelaspun berakhir. Sebelum kembali ke himpunan, Bambang bersama beberapa temannya yang lain pergi ke mushola untuk solat Duhur. Setelah makan siang bersama di kantin, giliran mata kuliah kedua dan disambung yang ketiga.

“Siapa yang mau fotocopy buku ini? Mana uangnya? Sini saya fotocopykan sekalian,” Pia menagih 
teman-teman karena ia yang diberi tanggung jawab memegang modul dari dosen. Beberapa teman mendatanginya dan memberinya uang. Di luar ruang kelas, Adho menghampiri Pia dan memberinya selembar uang lima puluh ribu rupiah. “Tolong fotokopikan untuk saya juga ya,” katanya lirih.

Seperti biasa, usai kuliah mereka kembali berkumpul di himpunan. Ada yang tidur-tiduran, main gitar, menyanyi, dan ada pula yang mendownload anime. Sesekali mereka mendiskusikan pelajaran atau tugas-tugasnya. Untuk organisasi atau program sosial yang sedang mereka jalani seperti Program Hibah Bina Desa (PHBD) biasanya didiskusikan di kantin bersama teman lintas jurusan dan angkatan, bahkan dosen-dosen.

“Aaaa..”

“Eh kenapa ko?” Ali yang juga berada di belakang himpunan menghampiri Adho yang sedang memegang parang dan menisik bambu entah untuk apa. Biasanya mereka menggunakan parang itu untuk membabat tanaman untuk membuka jalan di hutan atau membuat meja, kursi atau mainan tembak-tembakan dari bambu dengan peluru kertas basah di sini. Disusul oleh Syafarat yang melompat keluar lewat jendela himpunan. Ali dan Syarafat yang melihat tangan Adho luka tersayat bambu dengan segera menolongnya. Ali menyuruh Laode untuk mengambil air untuk membersihkan darah di tangan Adho. Karena terburu-buru dan tidak hati-hati, air itu tumpah mengenai celana pendek Adho. Dengan sorot matanya yang tajam, Ali melirik Laode. “Apa? Mau berkelahi? Jangan disini. Tentukan saja tempat dan waktunnya, saya tinggal mengikut,” sahut Laode membalas tatapan Ali. Ali tertawa tapi tetap dengan wajah sinis. “Hey kalian, jangan bawa urusan rumah tangga di sini,” Syarafat bermaksud menghentikan mereka.

“Sorry, Adho. Tenang.., ada celananya Yoga. Eh Yoga... masih ada celanamu disini yang bisa dipinjam?” Laode berusaha bertanggung jawab.

Sayangnya pakaian Yoga yang ada di himpunan sedang dilaundry.

“Tenang.. ndak apa-apa kok. Sudah-sudah”, Adho menenangkan. Setelah tangannya selesai diperban oleh Syarafat, Adho masuk ke himpunan dan mencari-cari sesuatu yang bisa dipakai saat sementara celananya dijemur. Kemudian dia menemukan trashbag hitam sepanjang satu meter dan membawanya keluar himpunan lewat jendela tadi. Dia gunting ujungnya supaya kepalanya bisa masuk, dan ujung samping kanan dan kiri untuk tangannya. Lalu ia melepas celananya dan menjemurnya di atas tanaman. Dia hanya tersenyum dan melanjutkan aktivitasnya saat tawa teman-teman meledak melihatnya memakai kantong sampah sebagai baju. Bahkan ia tidak malu-malu pergi ke tempat isi ulang air galon bersama Laode. Diapun membawa galon ke Himpunan lewat koridor melewati beberapa ruang Sekretariat jurusan lain. Kalau dipikir-pikir dia seperti memakai kostum drama.

Sampai di depan pintu himpunan Adho disambut oleh Bambang yang kaget dan tertawa terpingkal-pingkal. “Astaga sahabat.. kenapa begitu sekali ko kau gayamu? ndak tega saya,” ucap Bambang sambil mencoba menahan tawa, memegangi perutnya. “Belum pernah kau lihat? dari tadi dia begitu, liat kakinya kotor sekali karena tidak pakai sendal” Yoga menimpali sambil cengengesan menyingkirkan rambut gondrongnya dari wajahnya. Selain Adho, Yoga, Ali, Ari, Laode, Mukhlis dan To’i pun berambut gondrong.

Sedikit cerita tentang mereka. Mereka adalah sebagian mahasiswa jurusan Arkeologi, Universitas Hasanuddin tingkat dua. Sebagian lagi jarang berkumpul karena sibuk dengan organisasinya di luar kampus seperti Syarafat dengan organdanya, Ardhi dengan kegiatan wirausahanya, Muktamar dengan aktivitas dakwahnya atau Riri dengan keluarganya dan Taufik dengan pekerjaannya di Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Kab.Bulukumba. Merekalah kumpulan mahasiswa yang paling banyak, sering ngumpul, kompak, berisik. Semoga tetangga dari sekertariat jurusan lain tidak terganggu dengan aktivitas mereka. Meskipun terkesan berantakan karena rambut mereka yang panjang, baju mereka yang lusuh, celananya robek-robek dan sepatunya rusak, tetapi kharisma merekalah yang konon menarik perhatian mahasiswi jurusan lain. Pakaian mereka yang lusuh dan jarang ganti, bukan berarti tidak pernah dicuci atau tidak ada yang lain, hanya saja mereka selalu memakai pakaian yang itu-itu saja. Itu adalah cara mereka merakyat.

“Basah celanaku Bams, lagi dijemur,” jawab Adho setelah selesai memasang galon. Dilihatnya Bambang menggeleng-gelengkan kepalanya dan masih tetap tertawa. Terbersit ide di kepala Bambang untuk menyibak kantong sampah itu supaya pakaian dalam Adho terlihat, tetapi diurungkan karena banyak teman-teman perempuan di ruang himpunan, belum lagi senior-senior yang juga sama herannya dengan tingkah laku Adho.

“Eh apa saja peralatan bersama untuk kuliah lapangan besok?” tanya Ali kepada teman-teman perempuan yang sedang membicarakan tentang kuliah lapangan di luar Makassar besok sampai dua hari ke depan.

GPS, distometer, skala satu meter, millimeter block, peta, ATK, oh iya jangan lupa bawa galon,” jawab Wilda.

“Oh saya kira jangan lupa bawa kamera,” celetuk Pia.

“Ah itu juga,” jawab Wilda diiringi tawanya bersama teman-teman.

“Bagaimana dengan transportasi dan catering?” tanya Erna selaku bendahara kulap.

“Transportasi fix, siapkan saja uangnya besok, pisahkan uang keberangkatan dan kepulangannya,” jawab Ari.

“Kalau catering tanggung jawab Bambang dan sahabat,” tambah Ali.

Keesokan harinya mereka berangkat disertai dua dosen penanggung jawab mata kuliah Arkeologi Islam, Ibu Rosmawati dan Bapak Anwar, dan dua senior mereka, Kak Afdal dan Kak Masdar yang akan membantu mereka di lapangan. Selama di Jeneponto mereka tinggal di rumah Kak Masdar. Kuliah lapangan diadakan di dua situs Arkeologi yaitu di Kompleks Makam Manjangloe dan di Bataliung atau lebih dikenal Kompleks Makam Raja-Raja Binamu. Pasti kalian berpikir mereka adalah orang-orang angker yang mengunjungi tempat angker, menggali kubur, mencari tulang dan fossil, atau harta karun. Ini hanya kebetulan, karena mereka sedang menjalani mata kuliah Arkeologi Islam jadi mereka melakukan studi lapangan meneliti corak ragam hias makam yang merupakan peninggalan sejarah masa setelah kedatangan Islam.

Setibanya di rumah Kak Masdar mereka menerima briefing untuk kegiatan esok hari dan selama di Jeneponto. 

Saat meneliti, mereka melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang mengukur, mencatat, mendeskripsi, menggambar, dan mendokumentasikan data dengan kamera, ada pula yang mencari data dengan cara wawancara. Teriknya matahari di pemakaman yang gersang membuat mereka cepat lapar, apalagi sudah sejak jam 8 mereka meneliti kompleks makam Bataliung yang memiliki makam berjumlah sekitar seribu lebih dan masing-masing memiliki variasi corak ragam hias yang berbeda.

Sekitar pukul 11.30 dosen menghentikan aktivitas mereka dan menyuruhnya ishoma. Kebetulan makanan sudah diantarkan. Serempak mereka berkumpul di tempat rindang dan menikmati makan siangnya. Melihat isi galon yang tinggal seperempat bagian Adho meminta semua botol minum teman-teman dan memenuhinya dengan sisa air dari galon, setelah memastikan teman-temannya punya air minum, Adho membawa galon kosong itu pergi. Bambang yang sedang makan melihat sahabatnya menaiki motor, beranjak dari tempat duduknya sambil tetap membawa makanannya.“Mau kemana sahabat?” tanyanya.

“Isi galon”

“Makan dulu sahabat...”

“Makan mi…” (silahkan makan saja)

“Tunggu dulu sebentar,” Bambang buru-buru menghabiskan makanannya, kemudian mengambil galon itu dan duduk di boncengan motor Adho.

“Hehe ndak menyangkut kah itu makanan?”

“Siapa bilang saya telan, kan masih saya simpan di tembolok”

Begitu mereka kembali, teman-temannya langsung menyambut galon itu dan membukanya karena mereka butuhkan itu bukan hanya untuk minum tetapi cuci tangan dan muka. Bambang pun akhirnya minum dan Adho baru memakan makananya. Selesai makan mereka beristirahat dan sebagian sholat Dhuhur.

“Maaf Pak bisa wawancara sebentar?” Ali datang dengan hape communicator-nya seolah mic menghampiri Bambang yang mengenakan kaca mata hitam sedang duduk-duduk di bawah pohon.

“Oh iye’, bisa dek. Silahkan”

“Siapa nama Bapak?”

“Oh, nama saya Sirajuddin Bams”

“Asli sini Pak?

“Bukan, bukan asli sini”

“Oh, di mana alamat ta’ Pak?”

“Kamu tau ujung jalan ini?

Iye’ tau Pak. Disitu alamat Bapak?

“Bukan, bukan. Dari ujung jalan itu kamu ambil angkot ke terminal, setelah itu ambil bus ke Makassar, dari Makassar ganti bus lagi jurusan Jeneponto. Setelah sampai di terminal ambil angkutan yang menuju ke Kompleks kos-kosan Hartaco. Naik ojek biar cepet dek”

Teman-teman hanya tertawa menyaksikan tingkah mereka.

“Oh, jadi rumah Bapak di Hartaco deket kampus Unhas Makassar ya? Tapi harus melalui Jeneponto dulu untuk ke rumah? Ndakbisa langsung dari Makassar ya Pak?”

“Ndak bisa dek”

“Agak ribet ya Pak”

“Memang begitu dek. Tapi ngomong-ngomong satu pertanyaan saja dari saya dek”

“Apa itu Pak?

“Pertanyaan kamu apa ya? Soalnya..kok dari tadi tanya latar belakang saya terus”

“Oh iya Pak, saya lupa. Pertanyaan saya, boleh saya pinjam kacamata Bapak. Panas sekali disini, sakit mata saya Pak”

“Oh tidak bisaa…”

Waktu ishoma pun habis, mereka harus melanjutkan kegiatan mereka, meninggalkan Bambang dan Ali yang sedang rebutan kacamata.Mereka kembali ke sektor-sektor yang sudah ditentukan. Karena panas terik yang tak tertahankan sebagian teman memakai payung dan laki-lakinya memakai topi. Adho sendiri melepas baju kaos hitamnya untuk dikenakan di kepala seperti petani yang sedang bertani menutupi kepala dan lehernya dari sengatan matahari, tetapi Adho hanya menyisakan matanya yang terlihat, kemudian memakai topi dan jaket. Melihat teman perempuannya tidak memakai payung, Adho memberikan topinya kepada temannya itu.

Di tengah kegiatan pengamatan Mukhlis menghampiri Adho untuk menanyakan sesuatu tetapi tiba-tiba Adho berlari, melompat, salto dan terjatuh di samping Bambang. Dia makin mirip ninja yang sedang melakukan parkour (seni bergerak pindah dari satu tempat ke tempat lain secepat-cepatnya memanfaatkan kemampuan gerak tubuh seefisien mungkin). Teman-teman yang mendengar keributan itu langsung menoleh ke sumber suara dan mendapati Adho terjatuh dan segera berdiri. Sontak mereka tertawa sekaligus heran dengan apa yang dilakukan Adho.

“Kenapa ko?” teriak Mukhlis setelah tawanya.

“Kenapa ko sahabat? oh jadi begitu cara bermainmu? Menyerang aku dari belakang? Kubaca dirimu,” kata Bambang pura-pura ngambek.

Adho hanya menggeleng dan memperhatikan sekitar. Ia segera melanjutkan menggambar. Samar-samar terdengar masih ada teman-teman yang tertawa dan membahas peristiwa barusan.
...
Sampai di rumah mereka semua istirahat sambil ada yang mengantri kamar mandi. Toi dan Ari berinisiatif membuat es kelapa muda, kebetulan ada pohon kelapa di halaman rumah Kak Masdar. Adho yang memanjat tapi karena ada bagian tubuhnya yang sakit karena terjatuh di pemakaman tadi maka dia terjatuh lagi, meskipun teman-teman iba melihat Adho jatuh tetapi mereka tidak dapat menahan tawa mereka. Kemudian Yoga menggantikan Adho memanjat pohon kelapa itu dan menjatuhkan beberapa butir kelapa yang ditunjuk oleh teman-teman yang telah berlindung di bawah. Akhirnya mereka menikmati es kelapa muda itu bersama dosen dan seniornya.

Malamnya, Wike yang sejak kemarin sudah batuk-batuk tidak bisa tidur karena sakitnya bertambah parah. Kepalanya nyeri tidak tertahankan, suhu badannya tinggi. Teman-teman perempuannya menenangkannya karena dia terus menangis. Bambang dan Adho mencari obat untuk Wike. Syarafat memanaskan coto dan menyediakan makanan untuk Wike. Setelah minum obat, Wike baru bisa tidur.
Kegiatan pencarian data pun selesai di hari ke tiga mereka di Jeneponto, berikutnya mereka harus menyusun laporan di Makassar. Hari ke empat adalah saatnya mereka pulang. Sambil menunggu bus datang menjemput, mereka masak bersama karena sudah tidak ada catering. Fatimah, Erna, Wilda dan Bambang bangun pagi-pagi untuk belanja. Saat itu Bambang tidak tega membangunkan Adho, karena sebenarnya Adho punya masalah tidur. Dia sering sulit tidur malam, seperti mencemaskan sesuatu. Biasanya dia akan mengutak-atik laptop semalaman kalau sedang tidak bisa tidur. Walaupun laptopnya kecil dan usang, dia sangat ahli dalam bidang komputer yang termutakhir sekalipun. Tetapi anehnya dia sering mengantuk di kelas seperti orang yang sangat lelah.

Rupanya pasar yang seharusnya didatangi tutup,  jadi mereka harus mencari pasar lain yang jauh. Mereka tiba di rumah terlambat, sebagian teman-teman perempuan langsung menyambut pekerjaan di dapur. Mereka pun memasak sambil mengobrol dan bercanda khas perempuan-perempuan jika sedang berkumpul. Saat sebagian teman-teman laki-laki mengeluh karena kelaparan, Yoga dan Adho masuk ke dapur dan membantu teman-teman perempuan memasak dan menambah ramai suasana masak. Benar saja memasak jadi cepat selesai dengan bantuan tenaga mereka.

Sambil menikmati sarapan mereka yang terlambat, mereka menonton televisi. Kebetulan sedang menayangkan liputan tentang seniman muda berbakat asal Sulawesi Selatan. Gadis itu masih sangat belia saat karyanya sudah menjadi rebutan penikmat seni di balai lelang Cristie’s New York, tempat dilelangnya masterpiece dari maestro lukis dunia. Ternyata dia adalah anak keluarga seniman, mulai dari Ayahnya, Ibunya sampai Kakak dan Adiknya adalah pelukis. Kedua orang tuanya juga gemar menanam dan menata taman, rumahnya sangat besar dan indah. Sampailah pada tayangan foto keluarganya.

“Kenapa foto kakaknya mirip sekali dengan Adho?” Laode tiba-tiba menyeletuk.

Ali melirik Adho dengan mata tajam.Tapi yang dilirik abai, tak mengacuhkannya, malah tampak sangat menikmati makanannya. Bambang pun melirik ke Adho. Teman-teman yang lain sibuk memperhatikan televisi penasaran dengan foto yang dimaksud Laode. Teman-teman pun setuju dengan pendapat Laode, tetapi walaupun diantara teman-teman laki-laki Adho dan Yoga lah yang paling terang warna kulitnya, laki-laki berjas kasual berwarna cokelat di foto itu masih jauh lebih bersih dibandingkan Adho.

“Tapi mana mungkin itu Adho, masa adiknya cantik sekali,” Laode membantah kata-katanya sendiri sambil tertawa meledek Adho. Yang diledek malah ikut tertawa. Laode kembali fokus menonton tv ketika tiba pada tayangan gadis itu diwawancarai tentang lukisan terbaru yang sedang dikerjakan. Gadis itu nampak terkejut, malu-malu dan menutupi lukisannya. Dia menyatakan itu adalah hadiah untuk kakaknya yang diakuinya sangat dekat dengan dirinya. Saat ditanya tentang kenapa ingin memberikan hadiah lukisan itu, gadis itu menjawab karena ia ingin berterimakasih kepada kakaknya yang selalu melindunginya dan percaya padanya. Selanjutnya yang mereka bicarakan adalah pencapaian-pencapaian dan harapan gadis itu kedepannya.

“Ada yang aneh di lukisan itu.Apa kalian sempat lihat apa yang dilukis anak itu?” kata Yoga.

“Apa?” akhirnya Adho bersuara.

“Cuma gambar ga jelas, sama grafity kecil tuh,” kata Laode menanggapi pertanyaan Yoga.

“Kalau tidak salah tulisannya espion,” kata To’i nimbrung.

“Memang espion itu apa?” tanya Laode.

Espion itu Bahasa Perancis, eL-O, artinya mata-mata, saya tau dari film,” Ali memberi jawaban ke Laode dengan nada ketus.

“Jangan-jangan kakaknya ini anak, BIN. Kalau iya, berarti gawat,” kata Yoga.

“Apa lagi itu BIN?” tanya Laode lagi.

“Badan Intelligent Negara. Anak ini membunuh kakaknya sendiri,” kata Ari.

“Bukannya identitas BIN itu harus dirahasiakan ya? Bahkan sama keluarganya sendiri. Cuma dia, orang yang merekrutnya dan Tuhan yang tau. Apa konsekuensinya kalau identitasnya terbongkar?” tanya Mukhlis.

“Tamat,” jawab Taufik singkat.

Bus yang akan dinaiki mereka untuk kembali ke Makassar sudah datang. Satu per satu dari mereka naik dan menata barang bawaan mereka di bus. Setelah memastikan semua teman-temannya naik ke mobil, Bambang memanggil supir agar mereka segera berangkat. Tadinya waktu berangkat Bambang dan Adho naik motor, tetapi ia meminta Taufik dan Ali untuk gantian membawa motor sedangkan ia dan Adho naik bus bersama teman-teman karena ia merasa kurang enak badan. Setibanya di Makassar mereka kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada lagi yang berisik di ruang sekertariat himpunan malam ini.

Hari Senin mereka masuk kuliah seperti biasa. Beberapa diantara mereka tidak datang di mata kuliah pertama, mungkin karena kelelahan dan sudah tau bahwa dosen tidak akan masuk hari ini karena kakinya terkilir kemarin. Sampai jam mata kuliah ketiga Adho belum juga datang.
Yoga dan Ali sangat penasaran dimana Adho sehingga mereka memutuskan untuk “mencari” Adho di berbagai sosmed. Mereka meng-sms, nelpon dan chat fbnya. Sayangnya hanya itu yang bisa mereka usahakan. Mereka tidak tau apalagi akun media sosialnya, lebih-lebih dimana rumahnya. Sampai tiga hari kemudian dia tidak juga datang ke kampus. Bambang mulai frustasi karena mengkhawatirkan sahabatnya. Dia bukan tipe orang yang malas datang kuliah. Apalagi mereka sudah lost contact selama empat hari. Dia sudah tidak bisa berpikir hape sahabatnya rusak. Laptop rusak saja bisa diperbaiki, masa hape rusak tidak bisa. Dia selalu berdoa agar sahabatnya baik-baik saja.

Sejak saat itu mereka tidak pernah bertemu dengan Adho lagi.
.
.
Tbc…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar