Author: Annisa Senja Rucita
Genre: mystery, comedy
Rate: NC 1th (yaiyala~ blom bisa baca keles)
“Dia
pemeran utamanya”
“Bukan!
Kamu yakin dialah pemeran utamanya?”
“Iya,
saya yakin”
“Tapi
dalam kehidupannya bahkan dia tidak dilirik”
Pagi-pagi
Sirajuddin sudah mendengar perdebatan antara Wike dan Wahidah di sekertariat
himpunan jurusannya. Padahal dia masih mengantuk karena semalaman mengobrol,
bernyanyi dan bermain gitar bersama teman-temannya yang sekarangpun masih
tertidur.
“Dek-dek
tolong ya jangan berisik, anak saya sedang tidur”
Wike
tertawa mendengar ucapan Bambang. Sedikit
cerita tentang Sirajuddin, dia lebih akrab disapa Bambang atau Bams. Konon itu
adalah julukannya sejak kecil karena ia memiliki tanda lahir di jarinya. Tanda
lahir itu berupa tompel sehingga menyerupai batu cincin di jarinya, dalam
Bahasa Bugis tanda lahir itu disebut Bamban.
Sudah biasa di Sulawesi, orang suka terpeleset lidahnya atau okots jika
menyebutkan kata yang berakhiran “n”, seperti kata “bakwan” menjadi “bakwang”.
Sebenarnya masih ada okots yang lain, misalnya “uang” menjadi “uan”, “mabuk
laut” menjadi “mabut laut”, atau “upload di grup” menjadi “aplot di grut”. Yang
paling aneh okots kata “enam” kadang menjadi “enan, kadang kadang pula “enang”
*hahaha*
“Astaga
Bambang… bangun ko! Jam berapa ini?
Kuliah kuliah,” Wahidah mengingatkan sambil mengguncang tubuh Bambang yang
hendak kembali beranjak tidur.
“Eh
eh sentuh-sentuh, yang kemarin saja belum bayar”
“Hahaha,
bangun ko… cuci mukamu, sembilan
menit lagi jam delapan”
“Haaah,
mukhlis, lo lo, sahabat, yoga bangun… waktunya kuliah anak muda!” dengan ekspresi
pura-pura panik, Bambang segera mengguncang temannya satu per satu.
Mereka
pun akhirnya terbangun setelah berkali-kali dibangunkan oleh Bambang, Wahidah
dan Wike.Di ruang kuliah, Yoga mengambil tempat duduk di barisan paling belakang,
kemudian duduk disampingnya Laode dan disusul Mukhlis. Bambang duduk di depan
Laode. Di samping Bambang ada si sahabatnya.
“Adho,
ke sini-sini ko! mengantuk saya,” Muhklis
memberi isyarat untuk menutupi dirinya.
“Sahabat,
pulpenmu dulu,” Bambang meminjam pulpen pada Adho karena miliknya hilang. Adho
mengeluarkan isi tas selempangnya, buku catatan kecil, sepertinya notes dari seminar kit, sebuah pulpen dan pensil. Lalu memberikan pulpennya
ke Bambang.
Seisi
kelas menyimak pelajaran dengan santai. Ruang kelas yang luas dan peserta mata
kuliah yang banyak membuat samar-samar suara diskusi, obrolan bahkan becandaan
beberapa forum di sela-sela pelajaran.
“Bambang,
kenapa tadi terjadi perang? Perjanjian apa yang di langgar?” tanya Mukhlis
serius. “Oh itu terjadi perang ketika negara api menyerang, dan negara air
sumurnya tiris. Kemudian datanglah Eng,” Bambang memberikan penjelasan tanpa
menoleh ke arah Mukhlis. “Oh, jadi ini semua karena negara api, iyo? Terus kenapa negara air tidak
bersekutu dengan negara angin?” balas Mukhlis. “Ndak bisa, nanti kebakaran
hutan”
Mereka
kembali menyimak pelajaran seolah tidak terjadi apa-apa. Yoga dan Laode hanya
tertawa. Meskipun Laode sangat ingin menimpali tetapi dia urung karena mereka
harus menyimak mata kuliah ini dengan baik atau mereka akan mengecewakan ibu
dosen di depan kelas.
Bosan
dengan suasana kelas yang datar, Bambang berbuat usil kepada Adho si sahabatnya
dengan cara menarik rambutnya yang gondrong ikal sebahu namun dikuncir dengan
karet gelang. “Aaaa… hss,” Adho mengeluh kesakitan. “Diam ko perhatikan ibu Ros di depan!” ia mewanti. Bambang hanya
cengengesan dan malah mencolek dagu Adho. Lalu ia kembali menyimak pelajaran.
Tapi tidak tahan untuk berbuat usil lagi, dia menarik kumis Adho. Adho yang
pura-pura marah mencoret buku catatan Bambang, dan melanjutkan aktivitas
belajarnya seolah tidak terjadi apa-apa. Bambang yang telah mendapat balasan
akhirnya tertawa dan makin ingin menjahili si sahabatnya itu. Setiap perlakuan
Bambang selalu mendapat balasan yang sama dari Adho, sampai akhirnya Adho
menyita buku catatan Bambang dan membuangnya ke bawah kursi Bambang. “Hahaha
iya iya, ampun sahabat”.
Kelaspun
berakhir. Sebelum kembali ke himpunan, Bambang bersama beberapa temannya yang
lain pergi ke mushola untuk solat Duhur. Setelah makan siang bersama di kantin,
giliran mata kuliah kedua dan disambung yang ketiga.
“Siapa
yang mau fotocopy buku ini? Mana uangnya? Sini saya fotocopykan sekalian,” Pia
menagih
teman-teman karena ia yang diberi tanggung jawab memegang modul dari
dosen. Beberapa teman mendatanginya dan memberinya uang. Di luar ruang kelas,
Adho menghampiri Pia dan memberinya selembar uang lima puluh ribu rupiah.
“Tolong fotokopikan untuk saya juga ya,” katanya lirih.
Seperti
biasa, usai kuliah mereka kembali berkumpul di himpunan. Ada yang tidur-tiduran,
main gitar, menyanyi, dan ada pula yang mendownload anime. Sesekali mereka
mendiskusikan pelajaran atau tugas-tugasnya. Untuk organisasi atau program
sosial yang sedang mereka jalani seperti Program Hibah Bina Desa (PHBD) biasanya
didiskusikan di kantin bersama teman lintas jurusan dan angkatan, bahkan
dosen-dosen.
“Aaaa..”
“Eh
kenapa ko?” Ali yang juga berada di belakang himpunan menghampiri Adho yang
sedang memegang parang dan menisik bambu entah untuk apa. Biasanya mereka menggunakan
parang itu untuk membabat tanaman untuk membuka jalan di hutan atau membuat
meja, kursi atau mainan tembak-tembakan dari bambu dengan peluru kertas basah
di sini. Disusul oleh Syafarat yang melompat keluar lewat jendela himpunan. Ali
dan Syarafat yang melihat tangan Adho luka tersayat bambu dengan segera menolongnya.
Ali menyuruh Laode untuk mengambil air untuk membersihkan darah di tangan Adho.
Karena terburu-buru dan tidak hati-hati, air itu tumpah mengenai celana pendek
Adho. Dengan sorot matanya yang tajam, Ali melirik Laode. “Apa? Mau berkelahi? Jangan
disini. Tentukan saja tempat dan waktunnya, saya tinggal mengikut,” sahut Laode
membalas tatapan Ali. Ali tertawa tapi tetap dengan wajah sinis. “Hey kalian,
jangan bawa urusan rumah tangga di sini,” Syarafat bermaksud menghentikan
mereka.
“Sorry,
Adho. Tenang.., ada celananya Yoga. Eh Yoga... masih ada celanamu disini yang
bisa dipinjam?” Laode berusaha bertanggung jawab.
Sayangnya
pakaian Yoga yang ada di himpunan sedang dilaundry.
“Tenang..
ndak apa-apa kok. Sudah-sudah”, Adho menenangkan. Setelah tangannya selesai
diperban oleh Syarafat, Adho masuk ke himpunan dan mencari-cari sesuatu yang
bisa dipakai saat sementara celananya dijemur. Kemudian dia menemukan trashbag hitam sepanjang satu meter dan
membawanya keluar himpunan lewat jendela tadi. Dia gunting ujungnya supaya
kepalanya bisa masuk, dan ujung samping kanan dan kiri untuk tangannya. Lalu ia
melepas celananya dan menjemurnya di atas tanaman. Dia hanya tersenyum dan
melanjutkan aktivitasnya saat tawa teman-teman meledak melihatnya memakai
kantong sampah sebagai baju. Bahkan ia tidak malu-malu pergi ke tempat isi ulang
air galon bersama Laode. Diapun membawa galon ke Himpunan lewat koridor
melewati beberapa ruang Sekretariat jurusan lain. Kalau dipikir-pikir dia
seperti memakai kostum drama.
Sampai
di depan pintu himpunan Adho disambut oleh Bambang yang kaget dan tertawa
terpingkal-pingkal. “Astaga sahabat.. kenapa begitu sekali ko kau gayamu? ndak tega saya,” ucap Bambang sambil mencoba menahan
tawa, memegangi perutnya. “Belum pernah kau lihat? dari tadi dia begitu, liat
kakinya kotor sekali karena tidak pakai sendal” Yoga menimpali sambil
cengengesan menyingkirkan rambut gondrongnya dari wajahnya. Selain Adho, Yoga,
Ali, Ari, Laode, Mukhlis dan To’i pun berambut gondrong.
Sedikit
cerita tentang mereka. Mereka adalah sebagian mahasiswa jurusan Arkeologi, Universitas
Hasanuddin tingkat dua. Sebagian lagi jarang berkumpul karena sibuk dengan
organisasinya di luar kampus seperti Syarafat dengan organdanya, Ardhi dengan
kegiatan wirausahanya, Muktamar dengan aktivitas dakwahnya atau Riri dengan
keluarganya dan Taufik dengan pekerjaannya di Balai Pelestari Cagar Budaya
(BPCB) Kab.Bulukumba. Merekalah kumpulan mahasiswa yang paling banyak, sering
ngumpul, kompak, berisik. Semoga tetangga dari sekertariat jurusan lain tidak
terganggu dengan aktivitas mereka. Meskipun terkesan berantakan karena rambut
mereka yang panjang, baju mereka yang lusuh, celananya robek-robek dan
sepatunya rusak, tetapi kharisma merekalah yang konon menarik perhatian
mahasiswi jurusan lain. Pakaian mereka yang lusuh dan jarang ganti, bukan
berarti tidak pernah dicuci atau tidak ada yang lain, hanya saja mereka selalu
memakai pakaian yang itu-itu saja. Itu adalah cara mereka merakyat.
“Basah
celanaku Bams, lagi dijemur,” jawab Adho setelah selesai memasang galon. Dilihatnya
Bambang menggeleng-gelengkan kepalanya dan masih tetap tertawa. Terbersit ide
di kepala Bambang untuk menyibak kantong sampah itu supaya pakaian dalam Adho
terlihat, tetapi diurungkan karena banyak teman-teman perempuan di ruang
himpunan, belum lagi senior-senior yang juga sama herannya dengan tingkah laku
Adho.
“Eh
apa saja peralatan bersama untuk kuliah lapangan besok?” tanya Ali kepada
teman-teman perempuan yang sedang membicarakan tentang kuliah lapangan di luar
Makassar besok sampai dua hari ke depan.
“GPS, distometer, skala satu meter, millimeter block, peta, ATK, oh iya
jangan lupa bawa galon,” jawab Wilda.
“Oh
saya kira jangan lupa bawa kamera,” celetuk Pia.
“Ah
itu juga,” jawab Wilda diiringi tawanya bersama teman-teman.
“Bagaimana
dengan transportasi dan catering?”
tanya Erna selaku bendahara kulap.
“Transportasi
fix, siapkan saja uangnya besok,
pisahkan uang keberangkatan dan kepulangannya,” jawab Ari.
“Kalau
catering tanggung jawab Bambang dan
sahabat,” tambah Ali.
Keesokan
harinya mereka berangkat disertai dua dosen penanggung jawab mata kuliah
Arkeologi Islam, Ibu Rosmawati dan Bapak Anwar, dan dua senior mereka, Kak Afdal
dan Kak Masdar yang akan membantu mereka di lapangan. Selama di Jeneponto
mereka tinggal di rumah Kak Masdar. Kuliah lapangan diadakan di dua situs
Arkeologi yaitu di Kompleks Makam Manjangloe dan di Bataliung atau lebih
dikenal Kompleks Makam Raja-Raja Binamu. Pasti kalian berpikir mereka adalah
orang-orang angker yang mengunjungi tempat angker, menggali kubur, mencari
tulang dan fossil, atau harta karun. Ini hanya kebetulan, karena mereka sedang
menjalani mata kuliah Arkeologi Islam jadi mereka melakukan studi lapangan meneliti
corak ragam hias makam yang merupakan peninggalan sejarah masa setelah
kedatangan Islam.
Setibanya
di rumah Kak Masdar mereka menerima briefing
untuk kegiatan esok hari dan selama di Jeneponto.
Saat
meneliti, mereka melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang mengukur, mencatat,
mendeskripsi, menggambar, dan mendokumentasikan data dengan kamera, ada pula
yang mencari data dengan cara wawancara. Teriknya matahari di pemakaman yang
gersang membuat mereka cepat lapar, apalagi sudah sejak jam 8 mereka meneliti
kompleks makam Bataliung yang memiliki makam berjumlah sekitar seribu lebih dan
masing-masing memiliki variasi corak ragam hias yang berbeda.
Sekitar
pukul 11.30 dosen menghentikan aktivitas mereka dan menyuruhnya ishoma. Kebetulan
makanan sudah diantarkan. Serempak mereka berkumpul di tempat rindang dan
menikmati makan siangnya. Melihat isi galon yang tinggal seperempat bagian Adho
meminta semua botol minum teman-teman dan memenuhinya dengan sisa air dari
galon, setelah memastikan teman-temannya punya air minum, Adho membawa galon
kosong itu pergi. Bambang yang sedang makan melihat sahabatnya menaiki motor,
beranjak dari tempat duduknya sambil tetap membawa makanannya.“Mau kemana
sahabat?” tanyanya.
“Isi
galon”
“Makan
dulu sahabat...”
“Makan
mi…” (silahkan makan saja)
“Tunggu
dulu sebentar,” Bambang buru-buru menghabiskan makanannya, kemudian mengambil
galon itu dan duduk di boncengan motor Adho.
“Hehe
ndak menyangkut kah itu makanan?”
“Siapa
bilang saya telan, kan masih saya simpan di tembolok”
Begitu
mereka kembali, teman-temannya langsung menyambut galon itu dan membukanya
karena mereka butuhkan itu bukan hanya untuk minum tetapi cuci tangan dan muka.
Bambang pun akhirnya minum dan Adho baru memakan makananya. Selesai makan
mereka beristirahat dan sebagian sholat Dhuhur.
“Maaf
Pak bisa wawancara sebentar?” Ali datang dengan hape communicator-nya seolah mic menghampiri
Bambang yang mengenakan kaca mata hitam sedang duduk-duduk di bawah pohon.
“Oh
iye’, bisa dek. Silahkan”
“Siapa
nama Bapak?”
“Oh,
nama saya Sirajuddin Bams”
“Asli
sini Pak?
“Bukan,
bukan asli sini”
“Oh,
di mana alamat ta’ Pak?”
“Kamu
tau ujung jalan ini?
“Iye’ tau Pak. Disitu alamat Bapak?
“Bukan,
bukan. Dari ujung jalan itu kamu ambil angkot ke terminal, setelah itu ambil
bus ke Makassar, dari Makassar ganti bus lagi jurusan Jeneponto. Setelah sampai
di terminal ambil angkutan yang menuju ke Kompleks kos-kosan Hartaco. Naik ojek
biar cepet dek”
Teman-teman
hanya tertawa menyaksikan tingkah mereka.
“Oh,
jadi rumah Bapak di Hartaco deket kampus Unhas Makassar ya? Tapi harus melalui
Jeneponto dulu untuk ke rumah? Ndakbisa langsung dari Makassar ya Pak?”
“Ndak
bisa dek”
“Agak
ribet ya Pak”
“Memang
begitu dek. Tapi ngomong-ngomong satu pertanyaan saja dari saya dek”
“Apa
itu Pak?
“Pertanyaan
kamu apa ya? Soalnya..kok dari tadi tanya latar belakang saya terus”
“Oh
iya Pak, saya lupa. Pertanyaan saya, boleh saya pinjam kacamata Bapak. Panas
sekali disini, sakit mata saya Pak”
“Oh
tidak bisaa…”
Waktu
ishoma pun habis, mereka harus melanjutkan kegiatan mereka, meninggalkan
Bambang dan Ali yang sedang rebutan kacamata.Mereka kembali ke sektor-sektor
yang sudah ditentukan. Karena panas terik yang tak tertahankan sebagian teman memakai payung dan laki-lakinya memakai topi. Adho
sendiri melepas baju kaos hitamnya untuk dikenakan di kepala seperti petani
yang sedang bertani menutupi kepala dan lehernya dari sengatan matahari, tetapi
Adho hanya menyisakan matanya yang terlihat, kemudian memakai topi dan jaket. Melihat
teman perempuannya tidak memakai payung, Adho memberikan topinya kepada
temannya itu.
Di
tengah kegiatan pengamatan Mukhlis menghampiri Adho untuk menanyakan sesuatu
tetapi tiba-tiba Adho berlari, melompat, salto dan terjatuh di samping Bambang.
Dia makin mirip ninja yang sedang melakukan parkour
(seni bergerak pindah dari satu tempat ke tempat lain secepat-cepatnya
memanfaatkan kemampuan gerak tubuh seefisien mungkin). Teman-teman yang
mendengar keributan itu langsung menoleh ke sumber suara dan mendapati Adho
terjatuh dan segera berdiri. Sontak mereka tertawa sekaligus heran dengan apa
yang dilakukan Adho.
“Kenapa
ko?” teriak Mukhlis setelah tawanya.
“Kenapa
ko sahabat? oh jadi begitu cara bermainmu?
Menyerang aku dari belakang? Kubaca dirimu,” kata Bambang pura-pura ngambek.
Adho
hanya menggeleng dan memperhatikan sekitar. Ia segera melanjutkan menggambar. Samar-samar
terdengar masih ada teman-teman yang tertawa dan membahas peristiwa barusan.
...
Sampai
di rumah mereka semua istirahat sambil ada yang mengantri kamar mandi. Toi dan
Ari berinisiatif membuat es kelapa muda, kebetulan ada pohon kelapa di halaman
rumah Kak Masdar. Adho yang memanjat tapi karena ada bagian tubuhnya yang sakit
karena terjatuh di pemakaman tadi maka dia terjatuh lagi, meskipun teman-teman
iba melihat Adho jatuh tetapi mereka tidak dapat menahan tawa mereka. Kemudian
Yoga menggantikan Adho memanjat pohon kelapa itu dan menjatuhkan beberapa butir
kelapa yang ditunjuk oleh teman-teman yang telah berlindung di bawah. Akhirnya
mereka menikmati es kelapa muda itu bersama dosen dan seniornya.
Malamnya,
Wike yang sejak kemarin sudah batuk-batuk tidak bisa tidur karena sakitnya
bertambah parah. Kepalanya nyeri tidak tertahankan, suhu badannya tinggi. Teman-teman
perempuannya menenangkannya karena dia terus menangis. Bambang dan Adho mencari
obat untuk Wike. Syarafat memanaskan coto dan menyediakan makanan untuk Wike. Setelah
minum obat, Wike baru bisa tidur.
Kegiatan
pencarian data pun selesai di hari ke tiga mereka di Jeneponto, berikutnya
mereka harus menyusun laporan di Makassar. Hari ke empat adalah saatnya mereka
pulang. Sambil menunggu bus datang menjemput, mereka masak bersama karena sudah
tidak ada catering. Fatimah, Erna,
Wilda dan Bambang bangun pagi-pagi untuk belanja. Saat itu Bambang tidak tega
membangunkan Adho, karena sebenarnya Adho punya masalah tidur. Dia sering sulit
tidur malam, seperti mencemaskan sesuatu. Biasanya dia akan mengutak-atik
laptop semalaman kalau sedang tidak bisa tidur. Walaupun laptopnya kecil dan usang,
dia sangat ahli dalam bidang komputer yang termutakhir sekalipun. Tetapi anehnya
dia sering mengantuk di kelas seperti orang yang sangat lelah.
Rupanya
pasar yang seharusnya didatangi tutup, jadi mereka harus mencari pasar lain yang
jauh. Mereka tiba di rumah terlambat, sebagian teman-teman perempuan langsung
menyambut pekerjaan di dapur. Mereka pun memasak sambil mengobrol dan bercanda
khas perempuan-perempuan jika sedang berkumpul. Saat sebagian teman-teman
laki-laki mengeluh karena kelaparan, Yoga dan Adho masuk ke dapur dan membantu
teman-teman perempuan memasak dan menambah ramai suasana masak. Benar saja
memasak jadi cepat selesai dengan bantuan tenaga mereka.
Sambil
menikmati sarapan mereka yang terlambat, mereka menonton televisi. Kebetulan
sedang menayangkan liputan tentang seniman muda berbakat asal Sulawesi Selatan.
Gadis itu masih sangat belia saat karyanya sudah menjadi rebutan penikmat seni
di balai lelang Cristie’s New York, tempat dilelangnya masterpiece dari maestro lukis dunia. Ternyata dia adalah anak
keluarga seniman, mulai dari Ayahnya, Ibunya sampai Kakak dan Adiknya adalah
pelukis. Kedua orang tuanya juga gemar menanam dan menata taman, rumahnya
sangat besar dan indah. Sampailah pada tayangan foto keluarganya.
“Kenapa
foto kakaknya mirip sekali dengan Adho?” Laode tiba-tiba menyeletuk.
Ali
melirik Adho dengan mata tajam.Tapi yang dilirik abai, tak mengacuhkannya,
malah tampak sangat menikmati makanannya. Bambang pun melirik ke Adho.
Teman-teman yang lain sibuk memperhatikan televisi penasaran dengan foto yang
dimaksud Laode. Teman-teman pun setuju dengan pendapat Laode, tetapi walaupun
diantara teman-teman laki-laki Adho dan Yoga lah yang paling terang warna
kulitnya, laki-laki berjas kasual berwarna cokelat di foto itu masih jauh lebih
bersih dibandingkan Adho.
“Tapi
mana mungkin itu Adho, masa adiknya cantik sekali,” Laode membantah
kata-katanya sendiri sambil tertawa meledek Adho. Yang diledek malah ikut
tertawa. Laode kembali fokus menonton tv ketika tiba pada tayangan gadis itu
diwawancarai tentang lukisan terbaru yang sedang dikerjakan. Gadis itu nampak
terkejut, malu-malu dan menutupi lukisannya. Dia menyatakan itu adalah hadiah
untuk kakaknya yang diakuinya sangat dekat dengan dirinya. Saat ditanya tentang
kenapa ingin memberikan hadiah lukisan itu, gadis itu menjawab karena ia ingin
berterimakasih kepada kakaknya yang selalu melindunginya dan percaya padanya. Selanjutnya
yang mereka bicarakan adalah pencapaian-pencapaian dan harapan gadis itu
kedepannya.
“Ada
yang aneh di lukisan itu.Apa kalian sempat lihat apa yang dilukis anak itu?”
kata Yoga.
“Apa?”
akhirnya Adho bersuara.
“Cuma
gambar ga jelas, sama grafity kecil
tuh,” kata Laode menanggapi pertanyaan Yoga.
“Kalau
tidak salah tulisannya espion,” kata
To’i nimbrung.
“Memang espion itu apa?” tanya Laode.
“Espion itu Bahasa Perancis, eL-O,
artinya mata-mata, saya tau dari film,” Ali memberi jawaban ke Laode dengan
nada ketus.
“Jangan-jangan
kakaknya ini anak, BIN. Kalau iya, berarti gawat,” kata Yoga.
“Apa
lagi itu BIN?” tanya Laode lagi.
“Badan
Intelligent Negara. Anak ini membunuh kakaknya sendiri,” kata Ari.
“Bukannya
identitas BIN itu harus dirahasiakan ya? Bahkan sama keluarganya sendiri. Cuma
dia, orang yang merekrutnya dan Tuhan yang tau. Apa konsekuensinya kalau
identitasnya terbongkar?” tanya Mukhlis.
“Tamat,”
jawab Taufik singkat.
Bus
yang akan dinaiki mereka untuk kembali ke Makassar sudah datang. Satu per satu
dari mereka naik dan menata barang bawaan mereka di bus. Setelah memastikan
semua teman-temannya naik ke mobil, Bambang memanggil supir agar mereka segera
berangkat. Tadinya waktu berangkat Bambang dan Adho naik motor, tetapi ia
meminta Taufik dan Ali untuk gantian membawa motor sedangkan ia dan Adho naik
bus bersama teman-teman karena ia merasa kurang enak badan. Setibanya di
Makassar mereka kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada lagi yang berisik di
ruang sekertariat himpunan malam ini.
Hari
Senin mereka masuk kuliah seperti biasa. Beberapa diantara mereka tidak datang
di mata kuliah pertama, mungkin karena kelelahan dan sudah tau bahwa dosen
tidak akan masuk hari ini karena kakinya terkilir kemarin. Sampai jam mata
kuliah ketiga Adho belum juga datang.
Yoga
dan Ali sangat penasaran dimana Adho sehingga mereka memutuskan untuk “mencari”
Adho di berbagai sosmed. Mereka
meng-sms, nelpon dan chat fbnya.
Sayangnya hanya itu yang bisa mereka usahakan. Mereka tidak tau apalagi akun
media sosialnya, lebih-lebih dimana rumahnya. Sampai tiga hari kemudian dia
tidak juga datang ke kampus. Bambang mulai frustasi karena mengkhawatirkan
sahabatnya. Dia bukan tipe orang yang malas datang kuliah. Apalagi mereka sudah
lost contact selama empat hari. Dia
sudah tidak bisa berpikir hape sahabatnya rusak. Laptop rusak saja bisa
diperbaiki, masa hape rusak tidak bisa. Dia selalu berdoa agar sahabatnya
baik-baik saja.
Sejak
saat itu mereka tidak pernah bertemu dengan Adho lagi.
.
.
Tbc…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar