Senin, 21 Desember 2015

Tanya yang Tersisa

Di suatu malam ketika saya turun ke dapur untuk membuat minuman hangat untuk pengantar tidur yang nyaman, saya singgah ke ruang tamu, kemudian ada sesuatu yang menjadi sebab saya membuat tulisan ini. Di sana ada meja kerja Asisten Program Beastudi Etos wilayah Makassar. Tidak bermaksud untuk kurang ajar, saya duduk di kursi di belakang meja tersebut sambil menghabiskan minuman yang saya buat. Di atas meja, saya melihat sebuah buku yang berjudul Dari Gerakan ke Negara karya M. Anis Matta. Nampaknya buku ini tidak sengaja tertinggal. Entah kenapa saya tergerak untuk membaca buku tersebut alih-alih tidur nyaman usai minum susu hangat tadi. Kemudian akan saya ceritakan sebagian isi buku ini yang menyisakan tanya bagi saya.

Di antaranya buku ini memaparkan bahwa apabila kita ingin meringkas tahapan pertumbuhan Islam dalam sejarah, maka kita dapat meringkasnya dalam tiga kata yaitu manusia, negara dan peradaban. Manusia adalah subjeknya, negara adalah institusinya, peradaban adalah karyanya.

Sebagai institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan struktur sosial dan budaya masyarakat manusia. Suatu negara juga berubah mengikuti perubahan struktur kekuatan antar berbagai negara (dari imperium besar, negara bangsa dan negar dunia atau global state). Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa tunggal dan majemuk.
Walaupun para pemikir politik Islam mengakui bahwa Khilafah khususnya yang berlaku pada masa Khulafaur Rasyidin adalah bentuk negara yang terbaik, tetapi mereka tidak menafikan bentuk-bentuk lain. Bentuk negara boleh berubah, tetapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penempatan syariat Allah subhana wa ta’alla. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah mengalami berbagai perubahan; mulai dari Khilafah, Kerajaan dan sekarang berbentuk Negara Bangsa dengan sistem yang beragam (monarki, presidensial dan parlementer).

Benarkah Islam tidak memberi batasan tentang bentuk negara? Jika tidak ada batasan pasti tentang bentuk negara yang harus ditaati, mengapa masih ada pergerakan yang memaksakan merombak bentuk negara menjadi bentuk tertentu? Atau yakinkah mereka bentuk tersebut yang terbaik di zaman ini layaknya bentuk Khilafah di zaman Khulafaur Rasyidin? Sesungguhnya pertanyaan ini berasal dari kurangnya wawasan saya, alangkah baiknya jika dijawab dengan baik dan bukan dihujat.

Masih dari buku tersebut juga dinyatakan bahwa tugas peradaban kita saat ini adalah pendekatan jarak; antara Islam dengan muslim dan antara peluang dengan kesempatan untuk merebutnya. Manusia muslim inilah yang harus direkonstruksi agar terbentuk sedemikian rupa dan menjelma menjadi “terjemahan hidup” dari akhlak Al-Qur’an dan As-Sunah. Saya sangat setuju akan hal ini.

Islam dapat dengan mudah memenangkan pertarungan di tataran ideologi dan pemikiran, tetapi pertarungan sebenarnya justru terletak di antara kenyataan; di keramaian jalanan, di kegaduhan pasar, di belantika politik, di panggung budaya, di tengah desingan mesiu, di tengah masyarakat pedalaman pemegang tradisi jahilliyah dan di seluruh pojok bumi.
Manusia muslim harus di rekonstruksi dalam tahapan afiliasi, partisipasi dan memaksimalkan potensi dalam kontribusi.

Jumat, 27 November 2015

Sepotong Cerita untuk Kaisarku

Lantai dasar gedung perkuliahan FIB (Fakultas Ilmu Budaya) atau lebih akrab disapa Fakultas Sastra tampak ramai, sholat Jum'at di Mushola Al-Adab baru saja usai. Mahasiswa dan dosen kembali beraktifitas masing-masing. Aku? Sejak tadi aku berdiam di himpunanku, letaknya di dalam koridor yang segaris lurus dari mushola. Semakin nyaman karena agak sepi di sini. Kegiatan sedang berpusat di mushola.

Dalam sepi aku teringat ketika masih menjadi mahasiswa baru 2014. Kami para maba Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, sangat dilarang melewati koridor apalagi memasuki ruang sekretariat himpunan jurusan. Larangan ini cukup merepotkan ketika kami yang dari mushola atau dari ruang kuliah (di lantai dua) mau ke tempat parkir waktu pulang kuliah. Seharusnya dari lantai dua tinggal turun tangga dan jalan lurus ke depan lewat koridor, terus belok kanan dan jalan sebentar, kami sudah sampai ke tempat parkir, eh ini malah harus menempuh jalan lain yang lebih jauh dan agak rumit.

Himpunan jurusan arkeologi bernama KAISAR kependekan dari Keluarga Mahasiswa Arkeologi. Ya, asasnya memang kekeluargaan dan profesionalisme.

Kembali ke cerita, dulu kami sangat dilarang melewati koridor dan masuk himpunan sampai kami melulusi serangkaian proses pengaderan tingkat Fakultas dan Jurusan. Prosesnya panjaaang dan melelahkan. Mulai dari PPMB (yang bentuknya beranak pinak menjadi beberapa kegiatan) sampai Landasstular (Pengenalan Dasar Studi Lapangan Arkeologi). Ah di sini, sisa-sisa kesabaranku dikuras. Bayangkan! Kami dibiarkan tersesat di hutan, jatuh ke jurang dan hampir tenggelam di sungai.

Saat menuju camp terakhir, setelah menyebrangi sungai yang dalam dan kedinginan, kami masih harus jalan ke lokasi yang jaraknya lumayan jauh. Padahal saat itu sudah tengah malam dan kami sangat letih. Bagaimana tidak? kami harus jalan jauh melewati medan yang ekstrim sambil membawa carrier 60-100 Lt di punggung untuk menyitus. Belum lagi, sampai di camp kami masih harus bekerja keras membangun bivak yaitu tempat berlindung sederhana di alam bebas, sederhananya kami harus membuat tenda dari jas hujan.

Sambil jalan dalam keadaan letih dan kedinginan, aku menggerutu dalam hati.
"Memang apa hebatnya sih itu himpunan? Dikira aku mau banget ya masuk himpunan? igh! Liat aja nanti, dipaksa masuk pun aku gak sudi datang"
 Sampai sini dulu cerita landasnya.

Sekitar seminggu sepulangnya kami dari Landasstular, kami diharuskan membuat laporan kegiatan studi lapangan itu. Tapi sebelumnya kami dibekali materi tentang pembuatan laporan. Kebetulan materi diberikan di himpunan Kaisar, di antara himpunan-himpunan lain yang ada di dalam koridor lantai satu gedung perkuliahan FIB.

Dari muka Fakultas Sastra, khususnya gedung ini, KAISAR terletak di dalam koridor lantai satu di sisi sebelah kiri, ruang ketiga setelah ruang BEM KMFS-UH dan Himpunan Jurusan Sastra Daerah (Imsad). Engga perlu aku jelaskan lebih detail lagi. Kesan pertama waktu masuk ruang sekretariat himpunan itu sempit, bau asap rokok dan jelek. Abaikan saja opini terakhir! Hehe :Dv

Sejak saat itu, aku dan teman-teman sering datang ke himpunan-dengan tujuan masing-masing. Seperti hari ini, aku dan teman-teman singgah ke himpunan setelah kegiatan bazar film jam 11 siang dan menunggu asisten lab geoarkeologi yang baru akan datang jam setengah 3 sore. Ternyaataaa aku bisa datang-datang juga ke himpunan ya   :D