Di antaranya buku ini memaparkan bahwa apabila kita ingin meringkas tahapan pertumbuhan Islam dalam sejarah, maka kita dapat meringkasnya dalam tiga kata yaitu manusia, negara dan peradaban. Manusia adalah subjeknya, negara adalah institusinya, peradaban adalah karyanya.
Sebagai institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan struktur sosial dan budaya masyarakat manusia. Suatu negara juga berubah mengikuti perubahan struktur kekuatan antar berbagai negara (dari imperium besar, negara bangsa dan negar dunia atau global state). Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa tunggal dan majemuk.
Walaupun para pemikir politik Islam mengakui bahwa Khilafah khususnya yang berlaku pada masa Khulafaur Rasyidin adalah bentuk negara yang terbaik, tetapi mereka tidak menafikan bentuk-bentuk lain. Bentuk negara boleh berubah, tetapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penempatan syariat Allah subhana wa ta’alla. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah mengalami berbagai perubahan; mulai dari Khilafah, Kerajaan dan sekarang berbentuk Negara Bangsa dengan sistem yang beragam (monarki, presidensial dan parlementer).
Benarkah Islam tidak memberi batasan tentang bentuk negara? Jika tidak ada batasan pasti tentang bentuk negara yang harus ditaati, mengapa masih ada pergerakan yang memaksakan merombak bentuk negara menjadi bentuk tertentu? Atau yakinkah mereka bentuk tersebut yang terbaik di zaman ini layaknya bentuk Khilafah di zaman Khulafaur Rasyidin? Sesungguhnya pertanyaan ini berasal dari kurangnya wawasan saya, alangkah baiknya jika dijawab dengan baik dan bukan dihujat.
Masih dari buku tersebut juga dinyatakan bahwa tugas peradaban kita saat ini adalah pendekatan jarak; antara Islam dengan muslim dan antara peluang dengan kesempatan untuk merebutnya. Manusia muslim inilah yang harus direkonstruksi agar terbentuk sedemikian rupa dan menjelma menjadi “terjemahan hidup” dari akhlak Al-Qur’an dan As-Sunah. Saya sangat setuju akan hal ini.
Islam dapat dengan mudah memenangkan pertarungan di tataran ideologi dan pemikiran, tetapi pertarungan sebenarnya justru terletak di antara kenyataan; di keramaian jalanan, di kegaduhan pasar, di belantika politik, di panggung budaya, di tengah desingan mesiu, di tengah masyarakat pedalaman pemegang tradisi jahilliyah dan di seluruh pojok bumi.
Manusia muslim harus di rekonstruksi dalam tahapan afiliasi, partisipasi dan memaksimalkan potensi dalam kontribusi.