Kata gender telah digunakan di Amerika
tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler
maupun agama untuk menyuarakan eksistensi perempuan yang kemudian melahirkan
kesadaran gender. Menurut Eline Sholwater (1989) sebagaimana dikemukakan Umar
bahwa wacana gender mulai berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok feminis
London meninggalkan isu-isu lama yang disebut dengan patriarchal
kemudian menggantinya dengan isu gender. Sejak saat itu konsep gender memasuki
bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan
sosial dan pembangunan dunia ketiga. Di Indonesia istilah gender lazim dipergunakan
di Kantor Menteri Negara Peranan Wanita dengan ejaan gender yang diartikan
sebagai interpertasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin.
Gender berasal dari bahasa latin Genus yang berarti jenis atau tipe.
Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan
yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Gender itu sendiri adalah kajian
perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah
dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu
tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks
adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan secara kodrati.
Setiap makhluk termasuk manusia, pada umumnya hanya
memiliki dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Pembagian jenis
kelamin ini dikenal di seluruh dunia yang dibarengi dengan tuntutan peran sosial
yang kemudian disebut gender. Namun, dalam hal tradisi dan adat-istiadat, tidak
semua budaya memiliki pandangan yang sama dalam hal pembagian gender yang hanya
dua itu. Ada beberapa masyarakat yang membagi gender dalam tiga, lima atau
lebih. Bahkan masyarakat Muangthai mengenal sekitar 10 gender, yang juga
dibarengi dengan tuntutan kefemininan dan kemaskulinan dari masing-masing
gender yang berbeda-beda.
Suku Bugis di Sulawesi Selatan membagi masyarakat
mereka menjadi 5 jenis gender. Lima jari tangan dari jempol hingga kelingking
adalah simbol analogi gender di Sulawesi Selatan. Ibu jari melambangkan bura’ne (laki-laki),
kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai
(waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu.
“Bura’ne” atau “Oroane” artinya pria atau lelaki, biasanya jenis
kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan
perempuan.
“Makkunrai” artinya wanita atau perempuan. Mereka kerapkali
dituntut untuk menjadi feminin, jatuh cinta dan bersedia menikah dengan lelaki,
mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib melayani suami.
“Calabai” adalah laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya
perempuan. Menurut konsep gender Bugis, calabai adalah 'wanita palsu'.
Oleh karena itu, orang-orang ini umumnya laki-laki secara fisik tapi mengambil
peran seorang perempuan heteroseksual. Mode dan ekspresi gender seorang calabai jelas feminin, tetapi tidak
cocok dengan "khas" gender wanita.
“Calalai” adalah perempuan yang berpenampilan seperti layaknya
laki-laki, Calalai biasa juga disebut
perempuan maskulin/tomboy. Bahasa Makassarnya ‘Balaki’. Kelompok ini
mengacu pada orang yang ditugaskan perempuan saat lahir tetapi mengambil peran
laki-laki heteroseksual dalam masyarakat Bugis. Calalai individu yang tidak "bertransisi" seperti
kebanyakan orang trans gender Barat, calalai
hanya berpakaian dan menampilkan diri dalam mode maskulin pria.
“Bissu”, sebagai gender ke-5 berbeda dengan 4 gender yang
lain. Mereka adalah golongan yang disebut ‘bukan lelaki bukan pula perempuan’. Bissu atau kelompok orang orang mistik, dalam budaya Bugis mereka
memiliki posisi yang sangat penting. Pada setiap upacara adat Bugis, mereka
bertindak sebagai ‘pendeta’ atau ‘pemangku adat’. Mereka masih menjaga teguh
tradisi dan peran serta kebiasaan turun temurun nilai-nilai budaya bugis klasik
dan diilustrasikan sebagai manusia setengah dewa yang mempunyai kekuatan Supranatural.
Pada masa lalu, bissu dianggap sebagai pranata
spiritual paling vital sebagai penyambung dan penghubung antara manusia dan
dewa. Hal ini dimungkinkan karena bissu
menguasai bahasa langit (Basa Torilangi). Bahkan di
beberapa kerajaan, bissu dilindungi oleh raja dan diberikan amanah dalam
menjaga arajang (pusaka kerajaan).
Filolog Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi yang
pernah melakukan penelitian sosial menyatakan bahwa calalai dan calabai
diterima di tengah masyarakat. Mereka hidup layaknya seperti orang lain. Namun, perubahaan perlahan-lahan terjadi.
Ketika budaya baru muncul, dalam hal ini agama (Kristen dan Islam) yang
menempatkan pembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara
kodrati. Kemudian akhirnya calalai, calabai dan bissu menjadi masyarakat kelas dua. (Muhlis
Hadrawi)
Bahkan pada periode tertentu, saat pergolakan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan dilaksanakan Operasi
Taubat. Orang-orang yang mengakui dirinya di luar dari gender perempuan dan
laki-laki akan dikejar. Jika calalai akan diberikan kembali baju
perempuan. Begitupun sebaliknya untuk calabai dan bissu,
diberikan baju laki-laki.
Dosen Fakutas Imu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi
Rachman, mengatakan bahwa kehidupan
sosial di masyarakat Bugis dan Makassar (umumnya Sulawesi Selatan) sejak masa
lalu mengenal lima identifikasi gender tersebut. Secara individu per individu
sikap saling menghargai itu muncul. Bahkan, karena tingginya toleransi di
kalangan kelompok, bissu misalnya mendapatkan tempat penting dalam
sebuah ritual. Tapi bagi Alwi, budaya Bugis dan Makassar itu sangat maskulin.
Karakter akan keberanian, keteguhan dan keperkasaan selalu menampilkan sosok
laki-laki. Namun bukan berarti sisi maskulinitas ini mengabaikan identitas
gender lainnya. Di Sulawesi Selatan pada masa kerajaan, tidak sulit ditemukan
raja perempuan.
Christian Pelras dalam Manusia Bugis,
menuliskan relasi gender masyarakat Bugis begitu cair. Hubungan pernikahan
antara laki-laki dan perempuan tidak saling membatasi gerak. Orang Bugis tidak menganggap
laki-laki atau perempuan lebih dominan satu sama lain. Pelras, mengutip Sir
Stamford Raffles pada 1817 bahwa di Sulawesi Selatan perempuan tampil lebih
terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajuan yang dicapai
peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang
keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum
mereka di bagian dunia lain. Namun kemudian bagi Pelras, calabai yang
dituliskannya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan calalai sebagai “jenis
kelamin keempat” masing-masing memiliki peran di masyarakat. Tak jarang, calabai
akan berperan dalam prosesi ritual tradisional sebagai indo’ botting
(ibu pengantin yang berperan dalam menentukan langgeng tidaknya
pasangan).
James Brooke dalam jurnal perjalanannya ke Wajo pada
1840 mengatakan, tentang kebiasaan seorang laki-laki yang berpakaian seperti
perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk
sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang
mereka tiru itu.
Meskipun perbedaan gender di kalangan orang Bugis
memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar dalam ungkapan mau’ni na
woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane
sipa’na” (meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia
adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah
lelaki).