Kamis, 03 Agustus 2017

Meliku Nusa (1), Cerita Perjalanan KKN Miangas 96



Meliku Nusa, 14 Juli 2017


Hari ini dimulai dengan bangun tidur mendapati Meliku Nusa masih setia bersandar di pinggir dermaga, belum beranjak sedikitpun. Sudah dua pagi kami lewati di atas kapal ini, tanpa pergerakan. Langit masih gelap, tapi waktu subuh sudah dekat. Aku ikut beberapa teman yang mau sholat subuh di Masjid (lagi-lagi saya lupa namanya, dan tidak ada dokumentasinya ckck), di luar pelabuhan. Selesai sholat kami harus langsung  kembali ke kapal Meliku Nusa karena ada yang bilang kalau kapal akan berangkat pagi ini.

Sampai di kapal, Aku dan salah satu temanku, Dian, tidak langsung naik ke atas kapal. Kami duduk di atas tempat diikatkannya tali yang menjaga kapal agar tetap di tempatnya atau biasa disebut. Tak lama, datang teman yang lain ikut bergabung menambah seru obrolan tentang perjalanan. Dari sana kami melihat perlahan-lahan langit yang berwarna biru tua berubah menjadi berwarna perpaduan merah, kuning, dan jingga yang lembut. Tak seperti kemarin, pertunjukan fajar hari ini lebih indah. Aku merasa, sayang sekali kalau momen ini tidak diabadikan. Demi bisa menangkap indahnya langit dengan landscape pelabuhan dari atas kapal, aku pamit undur diri untuk naik duluan ke atas kapal, tapi ternyata mereka pun sudah ingin naik. Aku pun langsung menuju dek dua kapal ini dan berdiri menghadap ke timur memotret fajar hari ini dengan kamera telepon genggam.

Setelah fajar pergi membawa rona indahnya, aku diajak Dian naik ke dek tiga menikmati angin dan sinar matahari pagi. Di sana aku bertemu Akira, teman dari jurusan antropologi, dan kami mengobrol sebentar. Seingatku Ani datang disusul Al, setelah itu Akira hilang. Dia selalu begitu. Datang dan pergi secara tiba-tiba dan biasanya tanpa disadari sekitarnya.  Lain kali, akan kuceritakan tentang temanku yang satu ini.

Setelah itu kami turun ke ruang duduk di dek dua, bergabung bersama teman-teman yang mempertanyakan kepastian keberangkatan kapal ini. Semakin lama ditunda, semakin banyak kerugian yang harus kami tanggung. Rugi waktu, tenaga dan biaya. Menurut informasi yang kudapatkan dari sesama penumpang yang akan pergi ke Miangas, kapal ini sedang menunggu surat izin berlayar dari Pelni pusat di Jakarta. Tanpa itu kami tidak bisa jalan. Bisa kumaklumi kalau pertimbangan pemberian izin berlayar adalah kondisi ombak dan cuaca, tetapi menurut penuturan salah satu ABK bukan itu, melainkan surat-surat dan sertifikat ABK.

Karena jadwal yang tidak pasti ini kami tidak bisa pergi-pergi dengan tenang karena sewaktu-waktu kapal bisa jalan. Padahal kami sudah sampai di sini sejak hari Kamis sore dan sekarang sudah hari Sabtu. Seandainya sejak awal jadwalnya jelas, kami bisa jalan-jalan dulu menikmati Kota Bitung dan sekitarnya.  Ada empat tempat wisata unggulan di sekitar pelabuhan Bitung, yaitu dua di antaranya pantai dan yang lainnya monumen trikora dan ekowisata mangrove yang terletak di Pulau Lembeh yang berjarak tempuh sekitar 5 menit dari pelabuhan dengan kapal kecil, orang Sulawesi Selatan menyebutnya jolloro’. Di google map, aku pun lihat ada tag diving resort di pulau ini. Beberapa dari kami, rombongan KKN Tematik Miangas dari Unhas, hanya sempat berkunjung ke monumen Tri Komando Rakyat kemarin sebelum waktu sholat Jum’at. Karena katanya kapal akan berangkat sesudah sholat Jum’at. Tapi ternyata ditunda menjadi jam 6 sore dan nyatanya sampai hari ini pun belum berangkat.

Sekali lagi karena jadwal yang tidak pasti, sebagian dari kami memutuskan untuk pergi mandi dan mencuci pakaian di WC umum dalam pasar, dekat pelabuhan. Sebagian yang lain sarapan bubur ayam di depan masjid. Ada juga yang menitip dibelikan. Jarak lokasi sandar kapal kami dengan pintu masuk pelabuhan sekitar 1 km. Akan terasa jauh saat matahari tinggi, apalagi lingkungan di sekitar pelabuhan tidak ada pohon dan hampir selalu berdebu oleh mobil cargo yang berlalu lalang.

Seusai mandi dan mencuci pakaian, aku, Ani, Sultan, Ikbal dan Ghaffar rencananya akan sarapan bubur ayam, tapi ternyata habis diborong teman-teman. Akhirnya kami makan nasi kuning, lontong sayur dan nasi pecel di gerobak yang tidak jauh dari gerobak bubur ayam. Selesai makan kami kembali ke kapal dan menjemur pakaian kami di dek tiga. Sebenarnya dek tiga bukan ruang untuk penumpang, karena dek tiga adalah tempat khusus ABK di mana ada ruang navigasi nahkoda, kamar dan ruang makan mereka. Tetapi, kami diizinkan untuk naik ke atas menggantung hammock dan menjemur pakaian (hehehe sepertinya kalau yang ini hanya inisiatif kami). Ada juga jemuran di lantai paling atas (atapnya dek 3).

Karena dek dua, tiga dan atap sudah disebut, aku tambahkan dek satu ya. Dek satu juga tempat untuk penumpang, bedanya dengan dek dua yang hanya menyediakan tempat duduk plastik yang tersusun permanen, kalau dek satu hanya menyediakan ranjang tingkat dua yang tidak berkasur. Penumpang bisa tidur di sini dengan menggelar alas tidur seperti karpet dan semacamnya. Di dek satu juga terdapat dapur umum.

Sayangnya walaupun lama di kapal ini, aku belum sempat observasi jadi belum banyak yang bisa kuceritakan.
Bersambung...

2 komentar: