Meliku Nusa, 14 Juli
2017
Hari ini
dimulai dengan bangun tidur mendapati Meliku Nusa masih setia bersandar di pinggir
dermaga, belum beranjak sedikitpun. Sudah dua pagi kami lewati di atas kapal
ini, tanpa pergerakan. Langit masih gelap, tapi waktu subuh sudah dekat. Aku
ikut beberapa teman yang mau sholat subuh di Masjid (lagi-lagi saya lupa
namanya, dan tidak ada dokumentasinya ckck), di luar pelabuhan. Selesai sholat
kami harus langsung kembali ke kapal
Meliku Nusa karena ada yang bilang kalau kapal akan berangkat pagi ini.
Sampai di
kapal, Aku dan salah satu temanku, Dian, tidak langsung naik ke atas kapal.
Kami duduk di atas tempat diikatkannya tali yang menjaga kapal agar tetap di
tempatnya atau biasa disebut. Tak lama, datang teman yang lain ikut bergabung
menambah seru obrolan tentang perjalanan. Dari sana kami melihat perlahan-lahan
langit yang berwarna biru tua berubah menjadi berwarna perpaduan merah, kuning,
dan jingga yang lembut. Tak seperti kemarin, pertunjukan fajar hari ini lebih
indah. Aku merasa, sayang sekali kalau momen ini tidak diabadikan. Demi bisa
menangkap indahnya langit dengan landscape
pelabuhan dari atas kapal, aku pamit undur diri untuk naik duluan ke atas
kapal, tapi ternyata mereka pun sudah ingin naik. Aku pun langsung menuju dek
dua kapal ini dan berdiri menghadap ke timur memotret fajar hari ini dengan
kamera telepon genggam.
Setelah fajar
pergi membawa rona indahnya, aku diajak Dian naik ke dek tiga menikmati angin
dan sinar matahari pagi. Di sana aku bertemu Akira, teman dari jurusan
antropologi, dan kami mengobrol sebentar. Seingatku Ani datang disusul Al,
setelah itu Akira hilang. Dia selalu begitu. Datang dan pergi secara tiba-tiba
dan biasanya tanpa disadari sekitarnya.
Lain kali, akan kuceritakan tentang temanku yang satu ini.
Setelah itu
kami turun ke ruang duduk di dek dua, bergabung bersama teman-teman yang
mempertanyakan kepastian keberangkatan kapal ini. Semakin lama ditunda, semakin
banyak kerugian yang harus kami tanggung. Rugi waktu, tenaga dan biaya. Menurut
informasi yang kudapatkan dari sesama penumpang yang akan pergi ke Miangas,
kapal ini sedang menunggu surat izin berlayar dari Pelni pusat di Jakarta.
Tanpa itu kami tidak bisa jalan. Bisa kumaklumi kalau pertimbangan pemberian
izin berlayar adalah kondisi ombak dan cuaca, tetapi menurut penuturan salah
satu ABK bukan itu, melainkan surat-surat dan sertifikat ABK.
Karena jadwal
yang tidak pasti ini kami tidak bisa pergi-pergi dengan tenang karena
sewaktu-waktu kapal bisa jalan. Padahal kami sudah sampai di sini sejak hari
Kamis sore dan sekarang sudah hari Sabtu. Seandainya sejak awal jadwalnya
jelas, kami bisa jalan-jalan dulu menikmati Kota Bitung dan sekitarnya. Ada empat tempat wisata unggulan di sekitar
pelabuhan Bitung, yaitu dua di antaranya pantai dan yang lainnya monumen
trikora dan ekowisata mangrove yang terletak di Pulau Lembeh yang berjarak
tempuh sekitar 5 menit dari pelabuhan dengan kapal kecil, orang Sulawesi
Selatan menyebutnya jolloro’. Di google map, aku pun lihat ada tag diving resort di pulau ini. Beberapa
dari kami, rombongan KKN Tematik Miangas dari Unhas, hanya sempat berkunjung ke
monumen Tri Komando Rakyat kemarin sebelum waktu sholat Jum’at. Karena katanya
kapal akan berangkat sesudah sholat Jum’at. Tapi ternyata ditunda menjadi jam 6
sore dan nyatanya sampai hari ini pun belum berangkat.
Sekali lagi
karena jadwal yang tidak pasti, sebagian dari kami memutuskan untuk pergi mandi
dan mencuci pakaian di WC umum dalam pasar, dekat pelabuhan. Sebagian yang lain
sarapan bubur ayam di depan masjid. Ada juga yang menitip dibelikan. Jarak
lokasi sandar kapal kami dengan pintu masuk pelabuhan sekitar 1 km. Akan terasa
jauh saat matahari tinggi, apalagi lingkungan di sekitar pelabuhan tidak ada
pohon dan hampir selalu berdebu oleh mobil cargo yang berlalu lalang.
Seusai mandi
dan mencuci pakaian, aku, Ani, Sultan, Ikbal dan Ghaffar rencananya akan
sarapan bubur ayam, tapi ternyata habis diborong teman-teman. Akhirnya kami
makan nasi kuning, lontong sayur dan nasi pecel di gerobak yang tidak jauh dari
gerobak bubur ayam. Selesai makan kami kembali ke kapal dan menjemur pakaian
kami di dek tiga. Sebenarnya dek tiga bukan ruang untuk penumpang, karena dek
tiga adalah tempat khusus ABK di mana ada ruang navigasi nahkoda, kamar dan
ruang makan mereka. Tetapi, kami diizinkan untuk naik ke atas menggantung hammock
dan menjemur pakaian (hehehe sepertinya kalau yang ini hanya inisiatif kami).
Ada juga jemuran di lantai paling atas (atapnya dek 3).
Karena dek
dua, tiga dan atap sudah disebut, aku tambahkan dek satu ya. Dek satu juga
tempat untuk penumpang, bedanya dengan dek dua yang hanya menyediakan tempat
duduk plastik yang tersusun permanen, kalau dek satu hanya menyediakan ranjang
tingkat dua yang tidak berkasur. Penumpang bisa tidur di sini dengan menggelar
alas tidur seperti karpet dan semacamnya. Di dek satu juga terdapat dapur umum.
Sayangnya walaupun
lama di kapal ini, aku belum sempat observasi jadi belum banyak yang bisa kuceritakan.
Bersambung...
Meliku Nusa...
BalasHapusI miss the dolphin...
You must be meet the dolphin there...
Unfortunately No 😥
BalasHapus